Penasihat negara sekaligus pemimpin de facto Myanmar, Aung San Suu Kyi, menolak keputusan Dewan HAM Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) untuk menyelidiki dugaan kekerasan oleh pasukan keamanan terhadap kaum minoritas Muslim Rohingya.
"Kami tidak setuju dengan hal itu," ujar Suu Kyi dalam konferensi pers bersama kepala diplomatik Uni Eropa Federica Mogherini, di Brussels, Selasa (02/05) malam waktu setempat.
"Kami menjauhkan diri dari resolusi (PBB) itu karena kami berpikir resolusi tersebut tidak sesuai dengan apa yang sebenarnya terjadi di lapangan," ujar dia.
Pernyataan itu dilontarkan Suu Kyi menyusul persetujuan Dewan HAM PBB untuk mengirimkan tim pencari fakta ke Myanmar terkait dugaan pembunuhan, pemerkosaan, dan penyiksaan pada kaum Rohingya di negara bagian Rakhine.
Peraih Nobel Perdamaian ini mengatakan, pemerintahnya akan dengan lapang menerima berbagai rekomendasi yang sesuai dengan kebutuhan negara. "Tapi, rekomendasi PBB itu hanya akan memecah-belah dua kominitas di Rakhine lebih jauh lagi yang tidak akan kami terima karena itu tidak akan membantu menyelesaikan masalah yang selama ini timbul," ujar Suu Kyi.
Kekerasan terhadap kaum Rohingya kembali mencuat sejak penyerangan pos pengamanan di tiga wilayah perbatasan Myanmar di Rakhine oleh sejumlah kelompok bersenjata, 9 Oktober tahun lalu.
Dengan dalih memburu pelaku penyerangan, militer Myanmar diduga menyerang etnis Rohingya secara membabi-buta hingga menewaskan setidaknya 80 orang. Ini merupakan insiden berdarah terparah sejak bentrokan antara umat Buddha dan etnis Rohingya pada 2012 lalu yang menewaskan setidaknya 200 orang.
Laporan PBB juga membenarkan adanya dugaan pelanggaran HAM di negara itu. Penyelidik PBB bahkan mengatakan, tak sedikit perempuan yang diperkosa dan bayi yang dibantai oleh aparat saat operasi militer itu berlangsung.
Meski demikian, Myanmar berkeras membantah segala tudingan tersebut. Suu Kyi pun menolak pernyataan bahwa pemerintahannya sengaja mengabaikan kekerasan terjadi.
© Copyright 2024, All Rights Reserved