Pada akhir Juli 2024, Kabupaten Halmahera Tengah mengalami banjir terparah dalam beberapa tahun terakhir.
Banjir tersebut menyebabkan kerugian besar bagi warga karena akses jalan terputus, rumah terendam air, 1.726 orang mengungsi, dan satu orang meninggal dunia. Menurut Badan Penanggulangan Bencana Daerah (BPBD) Provinsi Maluku Utara, saat itu tujuh desa terdampak banjir.
Pius Ginting, Koordinator Aksi Ekologi dan Emansipasi Rakyat (AEER) dalam diskusi publik “Tingkat Produksi Pertambangan Nikel di Halmahera Tengah dan Daya Dukung & Tampung Ekologi,” di Jakarta, Rabu, (28/8/2024), mengatakan banjir di Halmahera Tengah terjadi karena wilayah tersebut sudah melampaui daya dukung untuk eksploitasi tambang.
Hasil penelusuran lebih lanjut menunjukkan bahwa deforestasi di wilayah konsesi tambang tambang pada batas ekologis tersebut mencapai 7.167 hektar. Hal ini juga membuktikan bahwa faktor pendorong deforestasi dalam 10 tahun terakhir di wilayah DAS terdampak banjir adalah pertambangan nikel.
Wilayah Halmahera Tengah saat ini dibebani oleh 26 konsesi pertambangan dengan total luas 57.627 hektar. Dari keseluruhan izin tersebut, 20 diantaranya merupakan izin operasi produksi untuk komoditas nikel. Selain itu, ada 2 konsesi tambang nikel yang masih tahap lelang.
Kondisi tersebut makin menjadi beban dengan kehadiran Proyek Strategis Nasional (PSN) Indonesia Weda Bay Industrial Park (IWIP). Perluasan kawasan industri IWIP terus dilakukan dan membuat pembongkaran hutan besar-besaran, baik untuk perluasan Kawasan IWIP maupun penambangan nikel di sekitar lokasi IWIP.
“Analisis spasial menunjukkan, dari tahun 2013 hingga 2023, hutan yang hilang di wilayah Daerah Aliran Sungai (DAS) yang menjadi kesatuan wilayah ekologis antara desa terdampak banjir, IWIP, dan perusahaan tambang mencapai 10.803 hektar. Situasi ini membuat tekanan terhadap lingkungan hidup di wilayah Halmahera Tengah semakin besar,” ujar Pius menambahkan.
Pernyataan Pius Ginting dibenarkan oleh Supriyadi Sudirman warga asli Sagea, Halmahera Tengah. Supriyadi, yang tergabung dalam Komunitas Fakawele dengan keras mengatakan warga Sagea tak membutuhkan tambang nikel. Warga Sagea membutuhkan sungai dan laut yang bersih, juga alam dan hutan yang indah untuk hidup.
Dalam diskusi tersebut, Supriadi menegaskan, warga Sagea tinggal sekitar 3 km dari lokasi hilirisasi nikel sangat terdampak dengan masifnya pergerakan tambang di wilayah tersebut. Ia mengaku sudah melakukan penolakan lahan tambang sejak tahun 2011, tapi penolakan itu tak pernah digubris. Bahkan ketika pencemaran semakin parah ia dan komunitas Save Sagea tak pernah mendapat akses untuk melihat pusat pencemaran.
“Sejak Agustus 2023, pencemaran sungai tak terbendung. Sungai keruh hampir sepanjang waktu. Deforestasi juga sangat tinggi. Di laut juga terjadi pencemaran, banyak ikan laut yang sudah tak bisa dikonsumsi karena terkontaminasi nikel,” ujar Supriyadi.
Kepala Bidang Penataan dan Kapasitas Dinas Lingkungan Hidup Halmahera Tengah, Abubakar Yasin mengakui ada gap antara kondisi lingkungan dengan kemampuan investasi.
“Karena PSN ini berkoordinasi dengan pusat, dan semua kebijakan bertumpu di pusat. PSN sekarang kan jadi prioritas dan memang dari sisi regulasi dia lebih diprioritaskan. Kawasan industri jadi sangat pesat perkembangannya, bahkan bisa berubah drastis dalam sebulan,” ujarnya dalam forum yang sama.
Namun Abubakar mengatakan pemerintah daerah tidak berdiam diri. Mereka tetap melakukan sesuatu untuk menjaga warganya, meski belum maksimal. []
© Copyright 2024, All Rights Reserved