ISENG saya buka HP, lalu membuka Google. Di urutan teratas saya membaca judul berita “Tak Laku Dilelang, Jalan Tol Senilai Rp 37,64 Triliun Ini Batal Jadi yang Terpanjang di Indonesia”. Isinya tentang rencana pembangunan jalan tol Gedebage-Tasikmalaya-Cilacap (Getaci) sepanjang 206,65 kilometer, yang belum berjalan hingga kini. Biaya awalnya dihitung sebesar Rp56,2 triliun. Berita AyoBandung,com ini sebenarnya dimuat Minggu 9 Juni 2024 pukul 16.21 WIB tetapi entah kenapa muncul lagi ketika saya buka Google tanggal 16 Juni pukul 11.40.
Saya tergelitik untuk membuka berita itu lebih lanjut, karena tertarik dengan kalimat “tak laku dilelang” karena ada potensi pelanggaran kode etik jurnalistik. Yakni opini menghakimi. Apa betul pernah ada atau sudah dilelang tetapi tidak ada peminatnya? Apakah ada fakta atau minimal pernyataan dari pejabat terkait tentang lelang itu.
Dari berita itu, disebutkan “Direktur Jenderal Pembiayaan Infrastruktur Kementerian PUPR, Herry Trisaputra Zuna mengungkap Tol Getaci dipangkas hanya sampai Ciamis…Tak hanya panjang lintasan yang dipangkas, namun proyek tol Getaci juga gagal lelang. Menurut Menteri PUPR Basuki Hadimulyono mengungkapkan penyebab tol tersebut gagal lelang yakni badan usaha jalan tol (BUJT). Dimana ia merupakan peserta prakualifikasi (pq) terafiliasi dengan BUJT terdahulu yang telah membatalkan tender.”
“Adapun sebelumnya. Badan Pengatur Jalan Tol (BPJT) dalam pengumuman hasil pelelangan pengusahaan jalan tol Gedebage-Tasikmalaya-Ciamis Nomor 24/BPJT/L/GTCM/2024, lelang tol Getaci hanya diikuti oleh dua konsorsium.” Pertama Konsorsium PT Trans Persada Sejahtera -PT Wira Nusantara Bumi yang dinyatakan tidak lulus. Kemudian yang kedua, Konsorsium PY Daya Mulia Turangga-PT China State Construction Overseas Development Shanghai yang juga dinyatakan tidak lulus.”
Lebih lanjut Herry mengungkapkan proses pelelangan ulang ditarget dapat dilangsungkan pada Juni.” ***
Dilihat dari beritanya, maka fakta sebenarnya adalah Tol Getaci, gagal lelang. Bukan “tidak laku dilelang”. Ada dua peserta yang berminat mengikuti lelang, tetapi dinilai tidak memenuhi syarat. Pembaca tidak diberitahu, mengapa dua konsorsium itu tidak lolos untuk mengikuti lelang. Apakah “tak laku dilelang” sama dengan “gagal lelang”? Sebenarnya tidak sama. Tidak laku berarti sama sekali tidak ada peminat. Minat biasanya dinyatakan secara tertulis dengan dukungan dokumen-dokumen tertentu. Faktanya ada peminat, entah berupa proposal atau apa, meskipun kemudian peminat itu dinyatakan tidak memenuhi syarat oleh panitia lelang.
Dari isi berita, istilah “tak laku dilelang” tidak tepat. Kalimat ini merupakan opini, dan salah pula. Wartawan tidak boleh beropini dalam berita yang dibuat, yang dia paparkan seharusnya hanyalah fakta-fakta. Untuk mewakili pikirannya, si wartawan bisa meminta tanggapan atau komentar yang sejalan dengannya, tetapi tentu harus berimbang. Tidak boleh memaksakan gagasan pribadi, kecuali si wartawan menulis di halaman opini, entah itu di tajuk rencana atau halaman yang dibuat khusus memuat opini-opini.
Sebenarnya dalam sebuah berita masih boleh ada opini, apabila dia berupa opini atau interpretasi/pendapat atas fakta. Dari berita di atas disebutkan bahwa Getaci semula akan menjadi jalan tol terpanjang di Indonesia, mengalahkan tol terpanjang saat ini Cikopo-Palimanan sepanjang 116,75 km. Maka kalimat “Gagal Menjadi Tol Terpanjang” juga merupakan interpretasi karena kini Tol Getaci terpotong tinggal 108 kilometer, dan itu tidak melanggar kode etik karena yang disimpulkan adalah fakta. ***
Saat rekrutmen wartawan, salah satu cek yang dilakukan seorang mentor terhadap contoh berita calon wartawan adalah terkait opini ini. “Fakta, fakta, fakta. Kamu ini wartawan, menulis untuk kepentingan publik. Pembaca tidak ingin tahu pendapatmu. Kamu bukan siapa-siapa. Bukan tokoh. Bukan ahli. Bukan spesialis. Ungkapkan hanya fakta. Sebanyak mungkin fakta. Fakta yang dibutuhkan pembaca.”
Memang banyak sekali calon wartawan, dan bahkan mungkin kini sudah menjadi wartawan, yang sulit memilah antara fakta dan opini. Oleh karena itulah wartawan wajib menggali, mencari tahu, dengan membaca entah di buku, artikel, atau berita terdahulu. Tugas wartawan tidak hanya menulis atau memproduksi berita, tetapi membekali diri dengan segala informasi yang diperlukan, yang digali dari segala sumber, agar karya jurnalistiknya berkualitas dan sesuai kode etik jurnalistik.
Kalau melihat berita olahraga, pelanggaran terhadap kode etik terkait opini menghakimi ini paling banyak terjadi. Tetapi tidak dianggap apa-apa dan tidak ada yang melaporkan ke Dewan Pers karena gaya hiperbola di berita olahraga, dianggap tidak merusak nama baik seseorang, tidak dianggap menghancurkan harkat dan martabat seseorang, atau mungkin sekadar lucu-lucuan.
Misalnya saja, di Piala Eropa 2024 yang sedang digelar saat ini, hasil pertandingan Italia-Albania berkesudahan 2-1 disebut dengan “menang tipis”. Sementara hasil pertandingan Jerman-Skotlandia dengan skor 5-1, menggunakan kalimat seperti “Jerman Melibas Skotlandia” atau “Jerman Membungkam Skotlandia.” Saya tidak tahu apakah Kedutaan Besar Skotlandia di Jakarta melayangkan surat pembaca ke redaksi media membuat berita itu. Perdefinisi kata-kata yang digunakan sudah bisa dikatakan kasar, menghina. Tetapi karena konteksnya adalah olahraga, pertandingan sepakbola, mungkin mereka anggap biasa saja, tidak ada nuansa penghinaan.
Untuk berita lain, masuknya opini ke dalam berita ini agar selalu dicermati wartawan. Hindari keinginan untuk berpendapat. Lalu jangan lupa untuk melakukan cek dan ricek. Artinya bisa saja di pengecekan pertama atau informasi awal yang diterima data atau faktanya masih kabur, atau belum lengkap, maka diperlukan cek kedua. Recheck atau ricek.
Saat di Dewan Pers, saya pernah menerima komplain seorang yang merasa dirugikan berita sebab dia baru dilaporkan ke kantor polisi, tetapi ditulis telah membawa kabur uang dan menelantarkan sejumlah calon pilot. “Ini proses, perlu waktu dalam penyalurannya, dan masih dalam tenggang waktu, sudah dituduh membawa lari uang dan menelantarkan. Saya minta hak jawab dan media tersebut minta maaf karena sudah merugikan nama baik saya,” katanya.
Opini yang dibuat media bahwa orang tersebut membawa lari uang, tidak berimbang karena media tidak melakukan konfirmasi, dan juga tidak akurat karena meskipun orang itu menghimpun uang pihak lain, belum ada bukti dia menyalah gunakannya. Media membuat kesimpulan hanya karena adanya laporan polisi, padahal sebenarnya dia harus mencari informasi tambahan baik dari yang diadukan ke polisi, maupun dari para korban, agar akurat, jelas duduk persoalan, apa yang sebenarnya terjadi.
Opini menghakimi lainnya, menelantarkan calon pilot, juga harus dikonfirmasi dulu untuk mencari tahu fakta yang sebenarnya. Misalnya soal batas waktu rekrutmen, apa saja yang sudah dilakukan dalam proses penyaluran, dan perkembangan terakhir saat berita diluncurkan karena bisa jadi ada perkembangan setelah adanya laporan polisi. Kalau semua sesuai dengan bukti-bukti yang ada, tentu tidak ada penelantaran. Bisa jadi prosesnya lamban, jadi ada yang merasa dirugikan dan mereka tidak memperoleh informasi soal itu dan mengadu ke polisi. Ini bukan kesalahan orang yang diadukan tetapi pada pihak ketiga yang di luar kuasa mereka. ***
Mendapatkan berita-berita “sehat”, yang menarik, tetapi juga yang sesuai kode etik jurnalistik, memenuhi standar jurnalistik, saat ini mulai agak sulit. Kita harus berlangganan pada situs media yang bermutu, yang kadang harus berbayar. Kalau berita gratis yang disediakan banyak media online, harap sabar karena bisa jadi ada residu yang perlu dibersihkan agar informasinya tetap tersaring dan sesuai harapan.
Sering dikatakan, wartawan adalah pembelajar yang baik. Saya dapati banyak kawan yang diam-diam sudah mau sidang untuk gelar Magister, ada yang siap-siap atau malah sudah pasang target tahun 2024 ini bergelar Doktor. Bahkan di jajaran pengurus PWI Pusat ada banyak doktor, lulusan perguruan tinggi bonafide. Mereka bekerja sambil kuliah, offline ataupun online. Ada pula yang nyambi jadi dosen agar ilmunya terus bertambah, wawasannya terus meluas.
Maka kalau ada wartawan yang malas belajar, dan cukup puas dengan dirinya sekarang, saya kira dia termasuk orang-orang yang merugi.
Wallahu a’lam bishawab
Ciputat 16 Juni 2024
*Penulis adalah Ketua Umum Persatuan Wartawan Indonesia (PWI) Pusat
© Copyright 2024, All Rights Reserved