Meski kekecewaan masyarakat terhadap partai-partai politik makin besar, tingkat partisipasi masyarakat dalam Pemilihan Umum (Pemilu) 2004 diperkirakan akan tetap tinggi. Mereka yang tidak menggunakan hak pilihnya atau Golongan Putih (Golput) tidak akan meningkat, malah mungkin menurun dibanding Pemilu 1999. Bahkan bisa disebut spektakuler jika angkanya mencapai 10 persen.
Demikian salah satu kesimpulan diskusi Dialektika Demokrasi bertajuk," Kekecewaan Masyarakat atas Parpol-parpol dan Kecenderungan Golput", di Gedung DPR, Jakarta, akhir pekan lalu.
Diskusi menampilkan pembicara J Kristiadi, pengamat politik dari Center for Strategic and International Studies (CSIS), Wakil Direktur Lembaga Penelitian dan Penerangan Ekonomi dan Sosial (LP3ES) E Shobirin Nadj dan Wakil Sekretaris Jenderal DPP Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDI-P) Pramono Anung.
Kristiadi mengatakan, baik secara fenomena maupun empirik, tidak ada alasan yang bisa mengindikasikan angka Golput meningkat di Pemilu 2004 nanti.
Menurutnya, angka Golput tidak akan bergeser dari Pemilu 1999, yakni sebesar 7 persen "Kalau sampai mencapai 10 persen, itu sudah sangat spektakuler," katanya.
Alasannya, Golput hanya akan terjadi dari kalangan masyarakat urban di perkotaan yang kritis. Sedangkan masyarakat tradisional yang tinggal di pedesaan tetap saja tidak terpengaruh, apalagi dalam Pemilu 2004 masih akan terjadi mobilisasi massa.
Hanya saja, mobilisasi massa Pemilu 2004 berbeda dengan mobilisasi massa di era Orde Baru. Kalau dulu massa dimobilisasi dengan kekuasaan dan kekuatan militer, mobilisasi di Pemilu 2004 akan digerakkan dengan politik uang dan sembako sehingga rakyat akan tetap berbondong-bondong mengikuti Pemilu.
Senada dengan itu, Shobirin mengungkapkan, berdasarkan hasil survei yang dilakukan LP3ES, Mei 2003, Golput diperkirakan hanya akan mencapai 4 persen di Pemilu 2004. Tetapi, angka itu pun masih akan berubah.
Diakuinya, hasil survei LP3ES menunjukkan, 49 persen responden menyatakan tidak percaya partai, 64 persen tidak meyakini partai sebagai sarana penyaluran aspirasi dan 23 persen lainnya menyatakan tidak satu pun partai yang peduli kepentingan rakyat. Namun angka itu, kata Shobirin, tidak dengan sendirinya mendorong mereka untuk bersikap Golput.
Buktinya, 93 persen responden masyarakat menganggap pemilu sebagai masalah yang penting dan 72 persen menyatakan kecewa kalau sampai tidak terdaftar sebagai peserta pemilu. Shobirin dan Kristiadi berpendapat, kekecewaan terhadap parpol tidak ada korelasinya dengan Golput.
Keyakinan yang sama juga dilontarkan Pramono Anung. Dia mengakui, akhir-akhir ini masyarakat banyak yang kecewa terhadap kinerja parpol karena dinilai tidak mengakomodasi aspirasi mereka. Tetapi kekecewaan itu tidak berarti angka Golput akan meningkat.
Selain karena sistem Pemilu 2004 dinilai lebih demokratis, budaya masyarakat Indonesia berbeda dengan masyarakat Amerika Serikat (AS) yang terkenal dengan angka Golputnya sangat besar.
Dari hasil jajak pendapat International Foundation for Election System (IFES) yang dipublikasikan Yanti Suganda dari bagian polling center IFES, di Jakarta, kemarin, juga memperlihatkan rendahnya angka Golput. Mereka yang mungkin memilih dan juga mungkin tidak memilih sebanyak 24 persen. Sedangkan yang akan menggunakan hak pilihnya sekitar 72 persen.
Dalam jajak pendapat yang melibatkan 3.000 responden di 32 provinsi sejak 1 Juni sampai 5 Juli 2003 itu, kemungkinan yang tidak akan menggunakan hak pilihnya dalam Pemilu 2004 kebanyakan lelaki (5 persen). Sedangkan dari kelompok perempuan hanya 3 persen.
Sementara dari sudut wilayah, pemilih yang tidak akan menggunakan hak pilihnya paling banyak tersebar di Bali, Nusa Tenggara Barat, dan Nusa Tenggara Timur sebesar 9 persen. Sementara di wilayah konflik seperti Nanggroe Aceh Darussalam (NAD), Papua, dan Maluku sebesar 8 persen. Sedangkan di Banten, DKI Jakarta, dan Jawa Barat, hanya tiga persen.
Jumlah yang sama juga terjadi di Jawa Tengah, DIY, dan Jawa Timur. Sebagian besar dari yang tidak akan menggunakan hak pilihnya itu adalah mereka yang pernah mengenyam pendidikan menengah (5 persen) dan pendidikan tinggi (6 persen).
Pada bagian lain jajak pendapat itu juga ditanyakan soal pengetahuan responden tentang Komisi Pemilihan Umum (KPU). Hasilnya, penerimaan masyarakat terhadap kehadiran lembaga penyelenggara pemilu itu cukup baik dan memuaskan. Mayoritas responden (59 persen) menyatakan sudah pernah mendengar atau membaca mengenai KPU.
Mengomentari itu, anggota KPU Valina Sinka Subekti mengatakan, hasil jajak pendapat IFES itu menunjukkan, keberadaan KPU cukup diperhitungkan masyarakat.
Tanggapan masyarakat yang positif itu, imbuhnya, memberi semangat baru bagi anggota KPU dalam melaksanakan tugas-tugasnya.
© Copyright 2024, All Rights Reserved