JUMLAH pengangguran di Indonesia mengalami penurunan sejalan dengan perkembangan waktu. Jumlah pengangguran semula sebesar 9,77 juta jiwa per Agustus 2020 atau 7,07% (BPS, 2023-2024) ketika UU Cipta Kerja disahkan pada Sidang Paripurna DPR per 5 Oktober 2020.
Selanjutnya UU Cipta Kerja sering didemonstrasi untuk dibatalkan oleh para buruh serikat pekerja, hingga posisi terakhir dalam peringatan hari peringatan buruh internasional May Day 1 Mei 2024.
UU Cipta Kerja mengalami perjalanan panjang dalam persidangan uji formil pembentukan undang-undang dalam persidangan di Mahkamah Konstitusi (MK). Setelah ketentuan MK menghendaki perbaikan UU, maka Perpu 2/2022 tentang Cipta Kerja disahkan oleh pemerintah menjadi UU 6/2023.
Dalam perjalanan waktu proses uji formil UU Cipta Kerja tersebut, jumlah pengangguran ternyata menurun menjadi 8,75 juta jiwa per Februari 2021 atau 6,26%.
Kemudian sebesar 8,4 juta jiwa tahun 2022 atau 5,83%. Sebesar 7,99 juta jiwa per Februari 2023 atau 5,45%. Terakhir sebanyak 7,2 juta jiwa per Februari 2024 atau 4,82%.
Tingkat pengangguran dalam RAPBN 2024 ditargetkan sebesar 5,0%-5,7%, sehingga kinerja tingkat pengangguran di Indonesia per Februari 2024 tergolong memenuhi target yang telah ditetapkan oleh DPR RI dan pemerintah. Sementara itu target pengangguran dunia sebesar 5,1% per tahun 2023, atau pencapaian tingkat pengangguran di Indonesia sebesar 5,45% per Februari 2023 masih lebih tinggi dibandingkan estimasi rata di tingkat dunia.
Jumlah pengangguran absolut telah berkurang sebesar 1,78 juta jiwa selama tiga tahun masa revisi UU, atau rata-rata sebesar 0,59 juta jiwa per tahun. Setelah UU Cipta Kerja 6/2023 diberlakukan tanpa adanya gugatan lagi di MK, jumlah penurunan pengangguran absolut rata-rata telah mencapai sebesar 0,79 juta jiwa per tahun.
Berarti manfaat yang diberikan oleh perubahan UU Cipta Kerja adalah berupa penurunan jumlah pengangguran yang sedikit lebih banyak. Dengan kata lain, tidak mudah untuk menyerap jumlah pengangguran menggunakan mekanisme undang-undang.
Sekalipun terdapat manfaat lumayan besar sebagai akibat pemberlakuan undang-undang sapu jagat tadi, yang sebanyak 11 klaster dan telah memenuhi sasaran RAPBN 2024, namun jumlah pengangguran masih tergolong bandel untuk berhasil diturunkan secara spektakuler.
Hal itu terlebih para buruh serikat pekerja dan Partai Buruh melakukan penolakan terhadap UU Cipta Kerja. Terdapat banyak hal dalam UU Cipta Kerja yang masih ditolak oleh para buruh serikat pekerja dan Partai Buruh, yaitu bukan hanya menolak pemberlakuan outsourcing, melainkan penerapan upah murah, perumusan penataan dana pensiun, dan masih banyak lagi.
Penolakan tetap terjadi sekalipun terdapat banyak kesamaan antara UU ketenagakerjaan yang lama (UU 13/2003) dibandingkan cluster ketenagakerjaan dalam UU Cipta Kerja 6/2023.
Pembangunan infrastruktur jalan tol darat, bandar udara, pelabuhan laut, kereta api, dan Ibu Kota Nusantara secara massif, maupun berbagai pelatihan ketenagakerjaan kartu pra kerja ternyata juga terkesan tidak menyerap jumlah pengangguran secara spektakuler.
Hal itu antara lain karena persentase pengangguran terbuka tergolong besar berada di provinsi-provinsi Banten (7,02%), kepulauan Riau (6,94%), Jawa Barat (6,91%), DK Jakarta (6,03%), dan Papua Barat Daya (6,02%) per Februari 2024.
Masalahnya adalah persentase pengangguran yang terbanyak dijumpai pada lulusan Sekolah Menengah Kejuruan atau SMK (8,62%) dan Sekolah Menengah Atas atau SMA (6,73%). Demikian pula dengan lulusan diploma IV, sarjana S1, magister S2, dan doktoral S3 (5,63%).
Artinya, selain terjadi ketidakseimbangan dalam penyerapan tenaga kerja, maka aspek inovasi kewirausahaan juga masih tergolong rendah. Sebanyak 20,47% dari orang yang bekerja telah melakukan berusaha sendiri per Februari 2024, yang sisanya sebagai kelompok para pekerja.
Usaha untuk menekan pengangguran antara lain dapat dilakukan dengan cara memberikan kesempatan kuliah yang lebih banyak pada lulusan SMK dan SMA, sehingga mereka berubah pengelompokan dari angkatan kerja menjadi bukan angkatan kerja.
Namun persoalannya sekarang adalah kegiatan subsidi silang pada Uang Kuliah Tunggal (UKT) dari kelompok I dan II yang nilainya jauh lebih murah dibandingkan UKT kelompok III, IV, dan V diduga telah mengalami perubahan komposisi rasio UKT.
Di samping itu uang pangkal atau Iuran Pengembangan Institusi (IPI) yang biasanya cukup besar, juga turut menekan kegiatan transformasi lulusan SMK dan SMK untuk melanjutkan kuliah ke perguruan tinggi, supaya mereka menjadi tergolong sebagai bukan angkatan kerja.
Pada sisi yang lain, tuntutan upah yang lebih layak dan upah minimum, ternyata diikuti oleh kenaikan persentase pengangguran terbuka pada provinsi tersebut. Penolakan terhadap upah murah dan tingginya tuntutan buruh untuk hidup lebih layak, mempunyai implikasi terhadap peningkatan persentase pengangguran pada provinsi tersebut.
Rupanya penolakan terhadap upah murah oleh para buruh serikat pekerja telah menaikkan persentase pengangguran terbuka. Masalah upah buruh tadi juga telah membuat industri melakukan relokasi ke wilayah yang memberlakukan upah lebih murah.
Relokasi industri juga mencapai ke luar negeri, yaitu ke negara-negara pesaing yang lebih menjanjikan perkembangan investasi dan kebijakan industri, yang relatif lebih menarik untuk industriawan multinasional.
*Peneliti Institute for Development of Economics and Finance (Indef), Pengajar Universitas Mercu Buana
© Copyright 2024, All Rights Reserved