Pers sudah begitu lama mengalami pemasungan kebebasan, dapat dimengerti jika institusi pers sekarang ini seolah-olah mengalami euforia kebebasan sedemikian rupa, sehingga karena merasa begitu bebasnya apa saja sepertinya layak diberitakan.
Dalam menyajikan berita, kode etik jurnalistik yang paling mendasar sekalipun seperti {cover both side} (meliput dari nara sumber yang berlawanan) cenderung tidak lagi dipedulikan. Bahkan ada institusi pers yang kemudian lebih menggandrungi unsur-unsur sensasional dalam membuat suatu pemberitaan, tanpa merasa perlu memeriksa lebih kebenaran atau akurasi dari fakta yang diberitakannya.
Pernyataan itu disampaikan Dr. Adnan Buyung Nasution, Ketua Dewan Pembina YLBHI dalam seminar bertajuk Fungsi Strategis Media Massa yang diselenggarakan Garda Muda Merah Putih, di Hotel Kartika Candra selasa (03/06).
Menurut Buyung, dalam situasi dan kondisi semacam itu, timbul pertanyaan: apakah pers memang benar-benar memberitakan fakta sebagai mana adanya? Apalagi jika hal ini dinyatakan sebagai kewajiban moril pers. Sejauh mana sebetulnya apa yang disebut sebagai kewajiban moril dalam memberitakan sesuatu yang faktual itu? Apakah segala sesuatu yang faktual memang menjadi kewajiban moril pers untuk memberitakannya?
Kebebasan pers itu sendiri sebagaimana telah terbukti di dalam kehidupan pers di mancanegara bukanlah kebebasan yang tanpa batas. Ini berarti bahwa kewajiban moril pers dalam memberitakan segala sesuatu yang faktual bukanlah kewajiban moril tanpa batas.
Ada batas-batas di mana kewajiban moril itu harus berhenti sebagai kewajiban manakala kewajiban moril itu berhadapan dengan kewajiban-kewajiban lain yang tidak kalah pentingnya.
{Trial by the press} akan terjadi manakala sesuatu pemberitaan berkaitan dengan suatu peristiwa hukum yang tengah diperiksa oleh lembaga pengadilan. Sebagai contoh, dalam kasus Bantuan Likuiditas Bank Indonesia (BLBI). Memang harus diakui tidak semua BLBI tersalur dengan benar.
Tapi sebaliknya, tidak semua penyaluran BLBI menyimpang. Tatkala lembaga peradilan sibuk memeriksa salah satu perkara BLBI, pers begitu gencar memberitakannya. Selain sebagai kewajiban moril pers untuk menyuarakan perasaan keadilan yang hidup ditengah-tengah masyarakat.
Sementara Hakim yang tengah memeriksa perkara itu, yang demi kepastian hukum terikat sepenuhnya pada ketentuan-ketentuan hukum yang berlaku, menjadi sulit menjalankan tugasnya karena public opinion sudah terlanjur terbentuk yang menganggap bahwa terdakwa pasti bersalah.
Apalagi jika dalam persidangan terbukti secara sah dan meyakinkan, bahwa kasus BLBI yang tengah mereka tangani itu tidak ada penyimpangan, sehingga hakim harus membebaskan terdakwa dari segala tuduhan.
Atas pembebasan ini, pers lagi-lagi akan kembali gencar memberitakannya, karena dianggap tidak sejalan dengn rasa kadilan yang berkembang ditengah-tengah masyarakat.
Contoh pemberitaan diatas memperlihatkan dua hal, yakni pertama: kebebasan pers telah mengganggu tegaknya kebebasan lembaga peradilan. Padahal kebebasan lembaga peradilan seperti halnya kebebasan pers sebagai pilar demokrasi dan hukum {(the rule of law)} di negara demokratis manapun.
“Sehingga sangat ironis jika komponen demokrasi yang satu (kebebasan pers) justru mengganggu hak hidup komponen demokrasi yang lain, seperti lembaga peradilan,” kata Buyung.
Kedua mendistrosi rasa keadilan masyarakat. Tidak semua lapisan masyarakat dapat menganalisis setiap pemberitaan secara jernih, sehingga sulit bagi mereka untuk membedakan antara fakta dan opini.
Akibatnya mereka akan semakin frustasi dan akan anarkis, karena tidak mempercayai lagi proses hukum yang berlaku termasuk malahan sampai institusi hukumnya. Jika hal ini terus menerus terjadi maka semakin sulit bagi kita membangun {civilized society}.
Dengan mengatakan hal itu, tidak lantas berarti bahwa kebeasan pers menjadi tidak penting. Kebebasan pers sangat penting, asal kebebasan itu tidak melupakan arti penting kebebsan komponen-komponen demokrasi lainnya dan dengan kebebasan itu pula pers dapat membantu mencerdaskan kehidupan masyarakat.
Kebebasan pers yang sudah ada sekarang mutlak harus dijaga, baik oleh kalangan pers sendiri (misalnya dengan terus menerus meningkatkan profesionalisme para wartawan memperkuat organisasi profesi) maupun oleh kalangan lain diluar pers.
Sementara itu Prof. Loeby Lukman yang tampil sebelum Buyung, mengatakan, supaya pers tidak melakukan {trial by the pers} pengadilan pers. Sebab pers mempunyai suatu kekuatan yang bisa melakukan sesuatu peradilan terhadap seseorang.
© Copyright 2024, All Rights Reserved