Indonesia mengalami defisit gas bumi sebesar 1,5 miliar kaki kubik per hari (BCFD). Pada 2025, defisit tersebut diperkirakan meningkat menjadi 4,5 miliar BCFD. Defisit tersebut sesuai dengan data terbaru neraca gas bumi nasional yang dikeluarkan Satuan Kerja Khusus Pelaksana Kegiatan Usaha Hulu Minyak dan Gas Bumi (SKK Migas).
"Kenyataannya, Indonesia defisit gas bumi," kata Direktur Utama PT Pertamina, Dwi Soetjipto, dalam rapat dengar pendapat dengan Komisi VI DPR, Rabu (15/04).
Menurut Dwi, untuk menutupi defisit tersebut, selain melakukan pengadaanliquefied natural gas (LNG) impor, Pertamina juga secara aktif mendorong pembangunan regasifikasi LNG. Di antaranya, pembangunan floating storage and regassification unit (FSRU) di Jawa Barat yang beroperasi sejak 2012.
Kemudian, konversi kilang LNG Arun menjadi regasifikasi terminal yang telah menerima kargo LNG pertama dari BP Tangguh mulai Februari lalu. Serta, beberapa rencana pengembangan terminal regasifikasi lainnya, seperti di Bojonegoro Terminal, FSRU Cilacap maupun mini LNG di kawasan timur Indonesia.
“Namun, dalam merealisasikan upaya itu, ada sejumlah hambatan yang dihadapi. Yang terberat adalah belum terintegerasinya infrastruktur LNG di Indonesia,” ujar Dwi.
Dwi mengatakan, akibatknya surplus gas di kawasan timur belum bisa dimaksimalkan untuk memenuhi kebutuhan gas di daerah yang mengalami defisit, baik dalam region yang sama, maupun di bagian barat.
Untuk itu, diperlukan keberadaan aggregator gas bumi nasional untuk menyeimbangkan harga gas nasional, serta menjamin adanya infrastruktur dan suplai gas terintegerasi di seluruh wilayah Indonesia. "Pada intinya, Pertamina siap memasok selama memenuhi keekonomian proyek," pungkas Dwi.
© Copyright 2024, All Rights Reserved