Gubernur Papua Lukas Enembe menegaskan mendukung sikap pemerintah pusat yang ingin menguasai saham mayoritas PT Freeport Indonesia yang sudah 48 tahun beroperasi di Papua.
"Kami setuju kalau negara menguasai 51 persen saham Freeport karena sektor ekonomi yang dikuasai oleh asing membuat kami tertinggal jauh," kata Lukas di Jayapura, Selasa (21/02).
Menurut Lukas, Kalau Indonesia menguasai 51 persen saham Freeport maka Freeport lah yang menjadi karyawan karena dia hanya kuasai 49 persen.
Lukas mengatakan, sebagai perusahaan besar yang beroperasi di Indonesia, Freeport harus tunduk dan taat terhadap aturan yang berlaku, terlebih mereka sudah banyak meraup keuntungan dari hasil mengeksplorasi kekayaan alam Papua.
"Ini sudah waktunya setelah 48 tahun Freeport menambang di Papua, sudah waktunya dia tunduk dan taat kepada UU di Indonesia. Kami sekarang minta sahamnya 51 persen, Freeport hanya bisa memberi 49 persen," kata Lukas.
"Ini wajib hukumnya karena UU Nomor 4 tahun 2009 ditambah dengan Peraturan Menteri Nomor 1 tahun 2017, Freeport harus tunduk pada itu, Freeport sudah banyak ambil (kekayaan alam Papua)," kata Enembe.
Menurut Lukas, Papua kini menjadi incaran bagi negara-negara maju yang ingin mengelola potensi tambang yang ada. Namun Lukas menekankan yang terpenting adalah kesejahteraan rakyat yang harus dikedepankan. Papua ini letaknya sangat strategis dan menjanjikan bagi semua negara, China dan Amerika berlomba-lomba memperembutkan kawasan ini.
"Oleh karena itu, sebagai negara yang berdaulat, sektor-sektor ekonomi harus dikuasai oleh negara dan dipergunakan sebesar-besarnya untuk kemakmuran rakyat," kata Lukas.
Sebelumnya, President dan CEO Freeport McMoRan Inc Richard C Adkerson mengaku akan menggugat pemerintah Indonesia jika belum juga mendapatkan keputusan negosiasi kontrak yang kini masih dalam perdebatan.
Richard dalam jumpa pers di Jakarta, Senin (20/02), mengatakan, pada Jumat (17/02) lalu PT Freeport Indonesia telah mengirimkan surat pemberitahuan kepada Menteri ESDM Ignasius Jonan mengenai tindakan wanprestasi dan pelanggaran Kontrak Karya oleh Pemerintah Indonesia.
Menurut Richard, Freeport tidak dapat melakukan ekspor tanpa mengakhiri Kontrak Karya yang ditandatangi 1991 silam itu. Richard juga menilai KK tersebut tidak dapat diubah sepihak oleh Pemerintah Indonesia melalui izin ekspor yang diberikan jika beralih status menjadi Izin Usaha Pertambangan Khusus (IUPK). Oleh karena itu, melalui surat tersebut, diharapkan bisa didapat solusi atas kontrak perusahaan tambang asal Amerika Serikat itu.
"Dalam surat itu ada waktu 120 hari di mana pemerintah Indonesia dan Freeport bisa menyelesaikan perbedaan-perbedaan yang ada. Kalau tidak selesai, Freeport punya hak untuk melakukan arbitrase," kata Richard.
Sementara Menteri Koordinator Bidang Kemaritiman Luhut Binsar Panjaitan meminta PT Freeport Indonesia untuk menghormati aturan yang ada di Tanah Air terkait perdebatan perubahan status Kontrak Karya menjadi Izin Usaha Pertambangan Khusus.
Menurut Luhut, posisi pemerintah jelas dalam hal tersebut dan tidak akan mundur dari aturan yang telah disusun. "Freeport harus menyadari ini adalah B to B (business to business) jadi tidak ada urusan ke negara. Freeport sudah hampir 50 tahun di sini, jadi mereka juga harus menghormati undang-undang kita," kata Luhut.
© Copyright 2024, All Rights Reserved