Amnesty International Indonesia memantau langsung aksi protes yang bertema #peringatandarurat berlangsung di sejumlah kota di Indonesia pada Kamis (22/8/2024). Berdasarkan pemantauan tim lapangan Amnesty, aksi ini ditanggapi aparat dengan penggunaan kekuatan yang berlebihan.
Amnesty mencatat aksi kekerasan aparat terjadi termasuk di Jakarta, Bandung, Semarang, dan Makassar. Di Jakarta, banyak orang yang ditangkap. Hingga Kamis sore, sudah belasan orang yang ditangkap. Jumlah mereka terus bertambah.
Mereka yang ditangkap termasuk staf Lembaga Bantuan Hukum Jakarta serta Direktur Lokataru. Mereka pun menjadi korban luka. Selain itu, sembilan orang lainnya juga menjadi korban kekerasan polisi, termasuk mahasiswa dari Universitas Paramadina dan UHAMKA. Tujuh jurnalis dari berbagai media (termasuk di antaranya Tempo, dan IDN Times) juga mengalami tindakan represif polisi.
Di Bandung, polisi tertangkap video mengejar dan memukul pengunjuk rasa dengan tongkat dan menginjaknya.
Di Semarang, setidaknya 15 mahasiswa dari berbagai kampus (Undip, Unnes, UIN Walisongo) dirawat di RS Roemani akibat tembakan gas air mata ke arah pengunjuk rasa oleh polisi. Mereka mengalami gejala seperti sesak nafas, mual, mata perih, dan beberapa bahkan pingsan.
Sebelumnya pada tahun 2020, Amnesty International memverifikasi 51 video yang menggambarkan 43 insiden kekerasan polisi selama aksi unjuk rasa menentang UU Cipta Kerja.
“Kekerasan yang dilakukan oleh aparat jelas bertentangan dengan Peraturan Kepala Kepolisian Negara Republik Indonesia No. 9 Tahun 2008 tentang Tata Cara Penyelenggaraan, Pelayanan, Pengamanan dan Penanganan Perkara Penyampaian Pendapat di Muka Umum mengatur kewajiban dan tanggung jawab polisi untuk melindungi HAM dan juga menghargai prinsip praduga tidak bersalah,” ujar Direktur Amesty Internasional Indonesia Usman Hamid, dikutip Jumat (23/8/2024).
Dalam Pasal 7 ayat (1) Peraturan Kapolri No. 16 Tahun 2006 tentang Pedoman Pengendalian Massa (Protap Dalmas) juga telah diatur secata jelas bahwa polisi dilarang bersikap arogan, terpancing perilaku massa, melakukan tindakan kekerasan yang tidak sesuai prosedur, mengucapkan kata-kata kotor, melakukan pelecehan seksual, membawa senjata tajam dan peluru tajam, keluar dari formasi dan mengejar massa secara perseorangan, bahkan memaki-maki pengunjuk rasa.
“Amnesty percaya bahwa kekerasan tidak boleh digunakan untuk menghukum mereka yang (dituduh atau diduga) tidak patuh terhadap kebijakan pemerintah atau hanya mengekspresikan kebebasan berkumpul. Jika penggunaan kekuatan tidak dapat dihindari, petugas penegak hukum harus secara jelas diperintahkan untuk menghindari terjadinya cedera serius dan tidak menyerang bagian tubuh yang vital,” pungkas Usman. []
© Copyright 2024, All Rights Reserved