Mata uang Inggris, poundsterling, melemah tajam di awal perdagangan pasar Asia, pada Jumat (07/10) pagi. Tidak tanggung-tanggung, poundsterling anjlok ke posisi terlemah sejak 1985 silam. Poundsterling turun ke titik terendah dalam 3 dekade terakhir.
Data yang dihimpun Reuters menunjukkan, poundsterling sempat keok ke level US$1,1819. Meski begitu, pada pukul 08.55 waktu Singapura, poundsterling kembali pulih ke level US$ 1,2401.
Sebelumnya pada Kamis kemarin, poundsterling juga melemah ke level US$1,2720 setelah tertekan ke posisi terendahnya dalam 31 tahun terakhir di US$1,2686 pada Rabu.
Anjloknya nilai tukar mata uang Inggris ini disebabkan aksi jual besar-besaran pelaku pasar. John Gorman, head of non-yen rates trading Nomura Securities menilai, ada dua teori yang berkembang mengenai poundsterling.
"Pertama, ada kesalahan fat finger (salah ketik) atau transaksi yang salah akibat human error. Kemungkinan kedua, yang sepertinya lebih masuk akal, ada kontrak option yang diperdagangkan sehingga menyebabkan aksi jual dengan likuiditas rendah," kata Gorman.
Managing Director BK Asset Management Kathy Lien sependapat dengan hal tersebut. "Ini aksi jual dengan tingkat likuiditas rendah. Biasanya, saat hal ini terjadi, reversal yang terjadi cukup besar namun dengan dukungan fundamental. Poundsterling dapat menemukan range baru antara 1,22 dan 1,25 per US$1," jelas Lien.
Namun tidak seluruh analis meyakini teori fat finger. "Biasanya, kesalahan fat finger tidak terjadi secara berkelanjutan seperti yang terjadi saat ini. Tapi ada kemungkinan hal ini terjadi karena kesalahan. Namun, saya rasa tidak mungkin bisa sampai serendah ini," jelas CEO of Intermarket Strategy Ashraf Laidi.
Sejumlah pengamat menduga artikel yang dirilis dari Financial Times mengenai kecemasan Brexit menjadi pemicu keoknya poundsterling. "Inggris memutuskan untuk memilih Brexit. Saya yakin ini Brexit yang cukup sulit (hard Brexit)," demikian laporan yang ditulis Financial Times mengutip Presiden Prancis Francois Hollande.
Pilihan hard Brexitmerujuk pada kondisi di mana Inggris akan kehilangan seluruh akses ke pasar tunggal Uni Eropa dan sejumlah negara serikat lainnya dalam kerjasama perdagangan.
© Copyright 2024, All Rights Reserved