ASPEK ketidakbebasan, ketidakjujuran (curang), dan ketidakadilan terkesan sangat kuat dipertentangkan dan diharapkan oleh tim kuasa hukum paslon Anies-Muhaimin dan Ganjar-Mahfud.
Hal itu, agar Mahkamah Konstitusi (MK) melakukan tindakan korektif progresif terhadap penataan kewenangan MK, yang sudah diatur dalam UUD 1945 hasil Amandemen keempat satu naskah dan UU Pemilu 7/2017.
Koreksi tersebut dilakukan terhadap ketentuan Pasal 22E ayat (1) dalam UUD 1945 hasil Amandemen keempat satu naskah, yang berbunyi pemilu dilaksanakan secara langsung, umum, bebas, rahasia, jujur, dan adil setiap lima tahun sekali.
Argumentasi dari kedua tim kuasa hukum paslon adalah MK sebagai penjaga konstitusi, yang diharapkan putusan MK tentang perselisihan hasil pemilihan umum (PHPU) lebih mengutamakan kebenaran bersifat substantif, dibandingkan kebenaran prosedural.
Dalam hal ini aspek kebenaran substantif dinilai mempunyai harkat martabat yang jauh lebih tinggi dan bermakna dibandingkan sekedar kebenaran prosedural hukum acara persidangan.
Kebenaran substantif bahkan terkesan MK dikesankan diharapkan berpotensi berwenang untuk mengubah UUD dan UU Pemilu, bahkan secara berlebihan MK berpotensi mengubah apa pun isi UU sepanjang hakim MK senantiasa meyakini suatu kebenaran substantif, yang diyakini oleh hakim MK. Argumentasi yang digunakan adalah hakim MK mempunyai kapasitas tertinggi dalam kelembagaan yudikatif.
Keberadaan fenomena sahabat persidangan (amicus curiae), juga terkesan menguatkan harapan kepada MK untuk bertindak sebagai MK substantif progressif dibandingkan bersifat konservatif prosedural untuk secara tertib mengikuti hukum acara persidangan.
Dalam hal ini secara implisit terkesan bahwa tim kuasa hukum kedua paslon menghendaki bahwa penataan kewenangan MK tidak berlaku lagi. Dalam hal ini terkesan jika MK mengabulkan semua petitum, maka putusan MK dimaknai sebagai palu emas.
Sebaliknya jika MK menolak semua atau sebagian petitum, maka putusan MK dinilai sebagai palu godam, yang membawa kebenaran keadilan MK dibawa semakin terpuruk dikonstruksikan dari keterbitan dan terang menjadi gelap gulita.
Persoalan-persoalan di atas mengemuka, ketika MK berencana menyampaikan putusan perselisihan hasil pemilihan umum (PHPU) per 22 April 2024. Putusan atas petitum kedua tim kuasa hukum paslon antara lain adalah membatalkan penetapan hasil Pemilu 2024.
Petitum kedua adalah mendiskualifikasi dan membatalkan penetapan paslon Prabowo-Gibran, atau mengganti Gibran sebagai cawapres. Petitum ketiga adalah KPU melakukan pemungutan suara ulang di seluruh Indonesia paling lambat 26 Juni 2024 dan Bawaslu sebagai supervisi. Petitum keempat adalah Presiden, Polri dan TNI, serta aparatur negara bertindak netral.
Persoalannya kemudian adalah kewenangan MK mengenai pemilu adalah memutus perselisihan tentang hasil pemilu berdasarkan ketentuan UUD 1945 hasil Amandemen keempat satu naskah Pasal 24C ayat (1).
Implikasi dari kewenangan MK tersebut secara konservatif adalah kaitan dengan putusan perselisihan hasil pemilu adalah MK tidak berwenang mengambil keputusan atas petitum yang menyatakan bahwa Presiden melanggar UU Pemilu 7/2017 maupun pelanggaran UUD 1945. Hal itu, karena hanya DPR yang mempunyai hak untuk mengajukan dugaan pelanggaran UUD 1945, yang wajib diputuskan oleh MK (Pasal 24C ayat (2)), atau pun UU seperti UU Pemilu 7/2027.
Selanjutnya mengenai petitum diskualifikasi dan membatalkan penetapan paslon Prabowo-Gibran, atau mengganti Gibran sebagai cawapres berdasarkan pemikiran secara konservatif bukanlah kewenangan MK, melainkan kewenangan Bawaslu.
Kemudian petitum KPU melakukan pemungutan suara ulang di seluruh Indonesia paling lambat 26 Juni 2024, Bawaslu sebagai supervisi, termasuk Presiden, Polri dan TNI, serta aparatur negara bertindak netral bukanlah dalam kewenangan MK, melainkan secara konservatif merupakan kewenangan Bawaslu.
Terakhir, adalah petitum untuk membatalkan penetapan hasil Pemilu 2024. Namun, berdasarkan hasil persidangan dari pernyataan saksi dan ahli, serta keterbatasan kewenangan MK yang tidak ada persoalan petitum yang mempersoalkan perselisihan hasil pemilu, melainkan sebatas pada persidangan proses penyelenggaraan pemilu, maka secara konservatif MK semestinya tidak mempunyai kewenangan untuk membatalkan keputusan penetapan KPU.
Singkat kata, sejarah akan membuktikan bahwa MK nanti mengambil putusan bersifat secara konservatif dengan taat asas mengikuti prosedur hukum acara persidangan, ataukah MK bertindak secara progresif menetapkan putusan dengan mementahkan dan melanggar ketentuan-ketentuan, yang tercantum dalam UU Pemilu 7/2017 maupun UUD 1945 hasil Amandemen keempat satu naskah.
*Peneliti Institute for Development of Economics and Finance (Indef), Pengajar Universitas Mercu Buana
© Copyright 2024, All Rights Reserved