Sikap Presiden Jokowi yang akhirnya membatalkan pelantikan Komjen Budi Gunawan patut diapresiasi, karena itu menunjukkan rasa peka Presiden atas tuntutan rasa keadilan masyarakat. Akan tetapi, dalam kasus dugaan kriminalisasi pimpinan dan penyidik KPK, Presiden masih terjebak pada sikap normatif prosedural yang terlalu kaku.
Setidaknya demikian pendapat yang dikemukaan juru bicara Serikat Pengacara Rakyat, Habiburokhman SH kepada politikindonesia.com, Kamis (19/02). Ia menilai, Jokowi tak konsisten dalam menjadikan rasa keadlian masyarakat sebagai acuan untuk mengambil tindakan hukum dan politik.
Ia mengatakan, semua kasus yang menjerat Pimpinan dan Penyidik KPK itu sangat janggal karena penyidikannya dilakukan dengan sangat mendadak, prosesnya berjalan sangat cepat dan momentumnya dipilih setelah KPK menetapkan Komjen Budi Gunawan sebagai tersangka. "Dalam situasi seperti ini, menjadi sangat aneh jika Presiden hanya mengeluarkan statement yang normatif “ikuti proses hukum” ujar dia.
Habib menangkap kesan kuat bahwa sikap Presiden itu merupakan bentuk kompromi, dan sekedar menenangkan pihak-pihak yang bertikai. Disatu sisi BG tidak jadi dilantik namun disisi lain pimpinan dan penyidik KPK tetap dibiarkan terjerat kasus hukum yang amat janggal.
"Sikap kompromi ini dapat diibaratkan sebagai peredam kejut, hanya menyelesaikan persoalan sesaat namun tidak menyelesaikan inti permasalahan."
Habib menambahkan, agak sulit memahami orientasi Presiden Jokowi. Apakah sekedar terjaganya hubungan baik antara KPK dan Polri atau penegakan hukum dan pemberantasan korupsi secara tuntas.
Dengan segala kekuasaan yang ada di tangannya selaku Kepala negara dan Kepala Pemerintahan, dan legitimasi pemenang Pilpres sulit dimengerti mengapa Jokowi tidak mampu mengambil sikap yang tegas untuk menyelesaikan persoalan ini.
Jika memang tidak berkenan secara langsung memerintahkan penghentian kasus dugaan kriminalisasi kepada pimpinan dan penyidik KPK, setidaknya Jokowi bisa meminta dilakukan audit khusus terhadap penanganan kasus tersebut.
"Pihak penyidik Polri harus bisa memberikan jawaban jelas yang substantif dan bukan normatif mengapa kasus sebanyak itu bisa dilakukan bersamaan," ujar dia.
Habib mewanti-wanti, masih mengambangnya sikap Presiden soal dugaan kriminalisasi terhadap pimpinan dan penyidik KPK ini sungguh berbahaya. Untuk waktu yang akan datang pimpinan dan penyidik KPK akan memiliki trauma dalam mengusut kasus-kasus korupsi kategori “big fish”, apalagi yang melibatkan pejabat penegak hukum.
"Mereka akan berpikir seribu kali untuk mengusut meski sudah memiliki bukti yang cukup. Padahal sejak awal KPK justru didesain untuk mengusut kasus-kasus korupsi skala besar," ujar dia.
Selama ini KPK kerap dikritik karena dianggap “jalan di tempat” dengan hanya berani mengusut kasus-kasus korupsi pejabat sipil dan tidak berani menyentuh wilayah sensitif yakni korupsi di kalangan penegak hukum. Dengan munculnya kasus ini, Habib pesimis, untuk ke depan sepertinya bangsa ini akan kembali menyaksikan ritual “jalan di tempat” tersebut kembali dipraktekkan oleh KPK untuk jangka waktu yang lama.
© Copyright 2024, All Rights Reserved