Industri perunggasan Indonesia kembali mengembangkan pasar ekspor baru. Setelah telur asin mampu menembus pasar ekspor di Singapura dan produk olahan daging ayam yang juga sudah memperoleh izin secara teknis untuk masuk ke pasar Jepang. Kini, giliran Parent Stock Hatching Eggs (induk telur tetas) yang sudah berhasil membuka pasar ekspor di Myanmar.
Direktur Jenderal Peternakan dan Kesehatan Hewan, Kementerian Pertanian (Kementan) Muladno mengatakan bahwa walaupun ekonomi sedang melemah, tapi industri perunggasan dalam negeri mampu berkembang dan kembali membuka pasar ekspor baru. Hal itu dilakukan karena saat ini potensi produksi bibit ayam pedaging untuk tahun 2015 sebanyak 3,3 miliar ekor. Sedangkan kebutuhan bibit ayam di dalam negeri sebanyak 2,44 miliar ekor.
"Hitungan jumlah tersebut merupakan hasil hitungan dari tim ad hoc yang terdiri dari Kementan, breeder dan peternak, serta Kementerian Perdagangan (Kemendag). Sehingga hasil perhitungannya menjadi tanda kalau Indonesia sudah mampu memenuhi permintaan dalam negeri," katanya kepada politikindonesia.com di Kantor Kementan, Jakarta, Jumat (28/08).
Melihat kondisi tersebut, lanjutnya, secara kedaulatan pangan, posisi Indonesia sudah swasembada daging ayam. Bahkan, kemampuan produksinya telah surplus. Sehingga menjadi semangat bagi industri perunggasan nasional untuk melakukan ekspor. Karena kondisi ekonomi yang tidak labil saat ini tidak berpengaruh bagi industri perunggasan di Indonesia.
"Seperti yang tertulis dalam UU No.41 Tahun 2014 tentang Perubahan atas UU No. 18 Tahun 2009 tentang Perternakan dan Kesehatan Hewan, yaitu Pasal 36B ayat 3 mengenai pengeluaran ternak/hewan dan produk hewan ke luar negeri sebagaimana yang dimaksud pada ayat 1 dilakukan apabila produksi dan pasokan ternak di dalam negeri mencukupi kebutuhan dalam negeri," ujar dia.
Dijelaskan, diterima perunggasan Indonesia di pasar luar negeri merupakan hasil kerja keras bersama instansi dan lembaga terkait, terutama dalam penanganan wabah Avian Influenza (AI). Sehingga bisa menyakinkan negara mitra, khususnya Myanmar. Pemerintah Myanmar per 1 Juli 2015 datang ke Indonesia untuk mempelajari sistem manajemen penanggulangan Al di Indonesia.
"Delegasi Myanmar yang datan ke Indonesia mengakui keberhasilan Indonesia dalam melakukan penangganan wabah Al. Bahkan Indonesia telah berupaya melakukan pembebasan Indonesia dari Al hingga tahun 2020," ucapnya.
Selain itu, tambahnya, Indonesia juga sudah melakukan suatu sistem untuk memonitoring sifat antigenetik dan genetik dari virus Al pada unggas di Imdonesia yang terintegrasi secara online yang bisa ditampilkan dalam bentuk peta antigenetik. Karena influenzavirus monitoring ini merupakan sarana yang sangat penting bagi pemerintah dan industri swasta dalam menentukan isolat virus referensi yang akan dijadikan masterseed vaksin Al.
"Hal ini mengingat virus Al cepat mengalami perubahan baik antigenic shift maupun antigenic drift. Sehingga mempengaruhi protektifitas vaksin Al di tingkat lapang. Oleh sebab itu, program monitoring virus Al sangat diperlukan untuk menonitoring sifat antigenetik dan genetik dari virus AI pada unggas Indonesia," paparnya.
Muladno mengatakan, pembukaan kembali jalur ekspor unggas tentunya dibarengi dengan sejumlah syarat yang tak bisa ditawar lagi. Pihaknya juga akan mempermudah pelaku usaha nasional untuk melakukan kegiatan ekspor-impor unggas. Agar industri perunggasan Indonesia bisa tumbuh dengan pesat. Karena Indonesia pernah menjadi eksportir ayam besar sebelum tahun 1980-an.
"Namun, setelah itu industri ayam tersungkur karena wabah flu burung yang dibarengi negara-negara lain menutup pintu bagi masuknya ayam asal Indonesia karena takut tertular AI. Maka, saat ini kita harus bisa meyakinkan negara yang dulunya menerima ayam Indonesia. Bahwa sejumlah daerah di Indonesia telah bebas virus AI, seperti Maluku Utara dan Gorontalo. Selain itu, pemerintah mengupayakan daerah lain seperti Kalimantan Barat terbebas dari AI," pungkasnya.
© Copyright 2024, All Rights Reserved