Piutang negara masih menumpuk. Pemerintah saat ini sedang mengejar penerimaan dari piutang itu yang besarnya Rp62 triliun. Total piutang tersebut, terdiri dari piutang BUMN perbankan Rp20 triliun, piutang nonperbankan Rp1,1 triliun, instansi pemerintah Rp41 triliun, dan kementerian/lembaga negara Rp9 miliar.
Demikian dikemukakan oleh Direktur Piutang Negara Direktorat Jenderal Kekayaan Negara Kementerian Keuangan, Soepomo, di gedung Kementerian Koordinator Perekonomian, Rabu (27/10). “Total piutang yang diurus PUPN (Panitia Urusan Piutang Negara) hingga September 2010 sebesar Rp62 triliun, yang terdiri dari 158 ribu berkas,” ujar dia.
Khusus untuk piutang negara di instansi pemerintah sebesar Rp41 triliun, Soepomo menjelaskan, sebagian besar terdiri dari piutang-piutang negara yang berasal dari eks-BPPN (Badan Penyehatan Perbankan Nasional). “Sebagian besar. Itu bisa Rp30 triliun sendiri," jelas dia.
Diterangkannya lebih jauh, piutang negara sebesar Rp62 triliun tersebut merupakan hasil penelusuran pemerintah sejak tahun 1960. Diakatakannya, dari nilai tersebut, dimungkinkan adanya penghapusan oleh pemerintah. Namun, ada berbagai prosedur yang harus dilalui. Caranya, sesuai PP Nomor 14 Tahun 2005, pengurusan piutang tersebut harus diserahkan dulu ke PUPN. “Yang bisa mengusulkan adalah kementerian/lembaga," ucap Soepomo.
Sebelumnya, BUMN atau BUMD juga bisa mengusulkan penghapusan piutang. Namun setelah keluar PP Nomor 33 Tahun 2006 menjadi tidak bisa. Karena, berdasarkan peraturan tersebut, piutang BUMN atau BUMD tidak lagi dikategorikan sebagai piutang negara. Sehingga pengelolaan piutangnya diurus sendiri melalui mekanisme korporasi.
Selain itu, rencana penghapusan piutang juga harus ditetapkan oleh pejabat yang berwenang. Untuk nilai piutang hingga Rp10 miliar, harus ditetapkan oleh Menteri Keuangan. Untuk nilai Rp10 miliar hingga Rp 100 miliar, harus ditetapkan Presiden. Dan untuk nilai Rp100 miliar keatas, harus ditetapkan Presiden atas persetujuan DPR.
Soepomo bercerita, jenis penghapusan piutang pun ada dua. Penghapusan secara bersyarat dan penghapusan secara mutlak. Penghapusan bersyarat diartikan sebagai habis buku. "Jadi, dihapuskan dari pembukuan, tapi tetap dicatat di laporan keuangan," katanya.
Dikatakannya pula, untuk kehati-hatian, sesuai dengan PP Nomor 14 Tahun 2005, usulan pertama adalah dihapus buku. Syaratnya, piutang sudah diurus secara optimal oleh PUPN. Setelah itu baru diterbitkan Surat Piutang Sementara Belum Dapat Ditagih (SBSBDD), yang menjadi dasar kementerian/lembaga untuk mengusulkan hapus buku atau hapus bersyarat piutang-piutang tadi.
Kemudian, setelah pemantauan ditemukan fakta bahwa debitur tidak memiliki kemampuan menyelesaikan kewajibannya, maka baru dapat dilakukan penghapusan secara mutlak atau penghapusan negara setelah penghapusan secara bersyarat dilakukan dengan menghapuskan hak tagih negara. "Untuk eks-BPPN, setahu saya belum ada yang dihapuskan," ujar dia.
Dikatakan Soepomo pula, PUPN ditugaskan oleh Kemenkeu untuk menyelesaikan seluruh piutang negara tersebut hingga tahun 2014. "Tentu perlu ada kerjasama yang baik dengan pihak-pihak yang mempunyai piutang yang diserahkan pada kami," kata Soepomo.
© Copyright 2024, All Rights Reserved