Mahkamah Agung (MA) memvonis PT Kallista Alam (PT KA) dengan denda Rp 366 miliar karena kebakaran hutan dalam pembukaan lahan yang menyebabkan rusaknya habitat orangutan di Rawa Tripa. Sayangnya, vonis itu malah dibatalkan Pengadilan Negeri (PN) Meulaboh.
Vonis itu mendapat sorotan Gerakan Rakyat Menggugat (GeRAM) dan Rumoh Transparansi (RT). Mereka mempertanyakan, eksekusi putusan MA tahun 2014 untuk perusahaan sawit tersebut. Mengapa yang muncul sekarang, vonis PN yang menganulirnya.
Pengacara GeRAM, Harli Muin kepada politikindonesia.com di Gedung MA, Jakarta, Kamis (03/05), mengatakan, MA dalam vonisnya sudah menyatakan perusahaan tersebut bersalah dan terbukti membakar lahan gambut Rawa Tripa di Kabupaten Nagan Raya. Kejadian tersebut menyebabkan Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) menggugat perusahaan itu di PN Meulaboh. Anehnya, Pengadilan Negeri (PN) Meulaboh, Aceh malah membatalkan putusan MA itu.
“Rawa Tripa adalah hutan gambut seluas 61.803 hektar yang merupakan bagian dari Kawasan Ekosistem Leuser yang dilindungi dan terkenal. Sebelum pengrusakan, Rawa Tripa dikenal di dunia sebagai Ibu Kota Orangutan di Dunia karena kepadatan polulasinya,” kata Harli.
Dia menjelaskan, kasus itu bermula saat perusahaan kelapa sawit itu digugat secara perdata oleh KLH karena sudah merusak lingkungan hidup. Perusahaan itu ditengarai, membakar untuk lahan baru seluas 1.000 ha pada tahun 2012 lalu.
“Pada tingkat pengadilan pertama, PN Meulaboh memerintahkan perusahaan itu mengganti rugi dan harus membayar sebesar Rp114.3 miliar kepada negara dan untuk memulihkan kawasan lahan yang dibakar seluas 1.000 ha sebesar Rp251.7 miliar. Pada 28 November 2013, PN pun mengabulkan seluruh nilai gugatan tersebut. Sehingga perusahaan sawit itu harus menanggung denda sebesar Rp366 miliar,” ungkap dia.
Menururnya, atas vonis tersebut, perusahaan tersebut lalu mengajukan banding. Banding itu ditolak oleh Pengadilan Tinggi (PT) Banda Aceh. Namun, perusahan sawit itu pun mengajukan kasasi dan ditolak juga. Sehingga upaya Peninjauan Kembali (PK) perusahaan itu kandas.
Belakangan, perusahaan sawit itu ternyata menggugat balik KLHK terkait putusan MA. Anehnya, permohonan itu pun dikabulkan.
“Perusahaan tersebut sebenarnya sudah menentang putusan MA. Salah satu kewajiban, setelah putusan tersebut adalah melaksanakan eksekusi. Sehingga keputusan MA ini bagi kami merupakan kemenangan hukum perlidungan lingkungan di Indonesia. Terutama bagi masyarakat lokal, kemenangan ini adalah keadilan dan inisiasi penting bagi usaha pemulihan di Tripa,” papar Harli.
Namun, tambahnya, 2 tahun berselang, eksekusi tak kunjung dilaksanakan. Meskipun, KLHK telah mengirim surat permohonan kepada Kepala PN Meulaboh untuk melakukan eksekusi putusan. Namun Ketua PN Meulaboh melakukan penundaan dengan alasan PN Meulaboh tidak memiliki dasar hukum untuk menunda pelaksanaan eksekusi putusan.
“Kami kaget mengetahui bahwa Ketua PN Meulaboh mengeluarkan Penetapan Perlindungan Hukum terhadap perusahaan sawit itu. Ini aneh. Justru, PN Meulaboh menyatakan eksekusi keputusan tahun 2014 tak dapat dilaksanakan sampai ada keputusan terhadap gugatan baru. Padahal, seharusnya tidak ada gugatan baru yang dapat membenarkan pengadilan untuk menunda eksekusi keputusan,” ujar dia.
© Copyright 2024, All Rights Reserved