Draft revisi Pedoman Perilaku Penyiaran/Standar Program Siaran (P3SPS) yang disampaikan Komisi Penyiaran Indonesia (KPI) dalam Uji Publik beberapa waktu lalu, dinilai mengecewakan. Pusat kajian media dan komunikasi Remotivi mencatat setidaknya ada 3 persoalan dalam draft terakhir yang dibawa ke Uji Publik.
Pertama, draft P3SPS 2015 cenderung memadatkan banyak pasal dari P3SPS 2012. Hal ini justru menjadikan aturan tersebut multitafsir. “Salah satunya mengenai pasal tentang perlindungan kepentingan publik. Pasal tersebut tidak tegas dalam mengatur program siaran sehingga rawan digunakan untuk kepentingan pribadi pemilik televisi,” ungkap Heychael, direktur Remotivi kepada politikindonesia.com, Senin (07/09).
Persoalan kedua, adalah soal tayangan tentang rokok yang bisa tayang kapan saja. Ini patut disayangkan. Berbeda dari P3SPS 2012, draft P3SPS 2015 membedakan antara “sponsor” dan “iklan”. Sementara “iklan” rokok diatur waktu tayangnya, “sponsor” rokok tidak secara spesifik diatur jam tayangnya.
“Aturan ini menyediakan celah bagi perusahaan rokok untuk beriklan di luar jam yang telah ditentukan dengan dalih bahwa ia menjadi sponsor sebuah program, bukan iklan,” ujar Heychael.
Dalam pengaturan tentang tayangan rokok tersebut, Remotivi menilai bahwa pasal 59 ayat 2 SPS tahun 2012 yang secara definitif menyebutkan, “Program siaran yang berisi segala bentuk dan strategi promosi yang dibuat oleh produsen rokok wajib dikategorikan sebagai iklan rokok,” tetap perlu dipertahankan.
Ketiga, draft P3SPS 2015 kurang tegas dalam memberikan sanksi-sanksi bagi program siaran televisi. Menurut Heychael, selama ini sanksi KPI tidak bertingkat sehingga tidak menimbulkan efek jera pada tayangan-tayangan yang telah berkali-kali melanggar. KPI sebenarnya memiliki mekanisme denda administratif yang bisa diterapkan bagi tayangan-tayangan yang membandel. Dalam SPS tahun 2012, sanksi ini hanya dikenakan apabila terjadi pelanggaran iklan niaga yang melebihi 20% waktu siar per hari (pasal 78 ayat 4), siaran iklan rokok di luar pukul 22.00-05.00 (pasal 78 ayat 5), dan penyediaan slot iklan layanan masyarakat minimal 10% dari total waktu siar iklan niaga (pasal 78 ayat 6).
Selain tiga pelanggaran tersebut, menurut Heychael, sanksi denda sebenarnya bisa diperluas secara bertingkat. “Apabila tidak mengindahkan sanksi teguran tertulis kedua misalnya, maka sebuah tayangan dikenakan sanksi denda,” tegasnya. Sanksi denda dinilai lebih efektif dalam menghukum tayangan bermasalah. “Stasiun televisi sering berdalih bahwa rating adalah alasan dalam membuat tayangan bermasalah. Artinya, mereka membuat tayangan buruk agar memperoleh keuntungan. Apabila keuntungannya diganggu, dengan penerapan denda sebagai sanksi tayangan bermasalah, maka alasan itu jadi tidak masuk akal lagi,” tambahnya.
Heychael mengaku, remotivi telah memberikan usulan perbaikan kepada KPI. “Kami sudah memberikan usulan-usulan perbaikan draft P3SPS 2015 kepada KPI. Tinggal kita lihat apakah KPI akan berpihak pada kepentingan publik atau tidak,” tandas Heychael.
© Copyright 2024, All Rights Reserved