Proses penyusunan revisi UU Penyiaran yang tengah dilakukan Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) saat ini, dinilai berjalan secara tertutup. Revisi UU Penyiaran terkesan dengan sengaja tidak melibatkan publik dan isinya sarat dengan kepentingan bisnis.
Pernyataan ini disampaikan Koalisi Nasional Reformasi Penyiaran (KNRP) melalui rilis yang diterima politikindonesia.com, Jumat (22/04). KNRP adalah sebuah koalisi yang melibatkan puluhan ilmuwan berbagai perguruan tinggi dan aktivis masyarakat sipil yang selama ini dikenal peduli dengan demokratisasi penyiaran.
Ade Armando, akademisi Universitas Indonesia yang tergabung dalam KNRP mengatakan, “Revisi berjalan dengan sangat cepat dan tanpa melibatkan elemen publik dalam prosesnya. Draf RUU Penyiaran yang seharusnya terbuka untuk publik, terkesan sengaja disembunyikan DPR.”
Rencana revisi UU Penyiaran Tahun 2002 kabarnya akan dituntaskan DPR dalam tahun ini. Selama 14 tahun terakhir, UU ini dianggap tidak pernah diterapkan secara efektif.
KNRP berharap penulisan ulang UU ini akan menjadikan UU Penyiaran lebih melindungi kepentingan publik. Sayangnya, sebagaimana dikatakan , Direktur Remotivi Muhamad Heychael, yang juga tergabung dalam KNRP, revisi yang kini tengah dilakukan DPR justru berkebalikan dengan semangat kepentingan publik.
Mengacu pada Rancangan UU Penyiaran tertanggal 2 Februari 2016, KNRP menunjukkan ada banyak muatan draf RUU Penyiaran yang mencerminkan semangat pro-pemodal dan bertentangan dengan kepentingan publik. Antara lain;
Draf revisi UU ini menghilangkan sama sekali pasal pelarangan pemusatan kepemilikan lembaga penyiaran yang semula tercantum dalam UU Penyiaran 2002.
Draf revisi UU ini juga menghilangkan kewajiban penyelenggaraan sistem siaran jaringan yang sebenarnya merupakan persyaratan kunci bagi demokratisasi penyiaran di Indonesia. Dalam UU Penyiaran 2002, sistem siaran jaringan merupakan kewajiban; sementara dalam draf revisi UU hal tersebut bersifat opsional.
KNRP menyatakan, Draf revisi UU ini dengan jelas mengerdilkan peran KPI menjadi sekadar lembaga pengawas isi siaran dan menjadikan pemerintah sebagai lembaga regulator utama dalam dunia penyiaran.
Draf revisi UU ini, juga menetapkan penataan penyiaran digital yang semata-mata melayani kepentingan pemodal besar yang saat ini sudah menguasai industri pertelevisian Indonesia. Draf revisi UU ini sama sekali mengabaikan potensi pemanfaatan frekuensi siaran untuk kepentingan pengembangan lembaga penyiaran lokal ataupun potensi pengembangan internet broadband yang akan membawa manfaat besar bagi seluruh masyarakat di Indonesia.
Draf revisi UU ini memuat kewajiban sensor bagi seluruh isi siaran, termasuk berita dan laporan jurnalistik, yang disiarkan lembaga penyiaran.
KNRP juga mengkritisi jumlah iklan yang bisa ditayangkan dalam sebuah program mencapai 40 persen dari jam siar program. Ini merupakan peningkatan luar biasa signifikan karena dalam UU Penyiran 2002, batas maksimal iklan adalah 20 persen dari jam siar program.
KNRP juga mengkritik draf revisi UU ini yang mengizinkan disiarkannnya iklan rokok. Hal ini bertentangan dengan prinsip perlindungan anak dan remaja. Selain itu juga bertentangan dengan ketentuan lainnya dalam Draf yang menyatakan larangan bagi lembaga penyiaran untuk menyiarkan iklan yang mempromosikan zat adiktif.
Atas dasar itu, KNRP menilai masyarakat sipil patut curiga dengan apa yang terjadi di DPR. Karena itu, KNRP menganggap satu-satunya cara untuk menghilangkan kecurigaan tersebut adalah DPR melakukan proses revisi UU Penyiaran dengan transparan dan mengundang partisipasi publik dalam prosesnya.
KNRP juga mengundang segenap akademisi, aktivis, profesional media, dan siapa saja yang peduli pada UU penyiaran yang berperspektif publik bergabung bersama dalam koalisi ini untuk mengawal revisi UU penyiaran agar mengakomodir kepentingan publik.
© Copyright 2024, All Rights Reserved