Pemerintah dan pengusaha rumput laut kini tengah ketar-ketir. Pasalnya, Amerika Serikat (AS) tengah membahas rencana untuk mengeluarkan produk ekspor unggulan Indonesia itu ke dalam daftar pangan organik AS. Jika produk rumput laut Indonesia kena delisting (dikeuarkan dari daftar pangan organik), ekspor rumput laut Indonesia bisa anjlok.
Kepada politikindonesia.com di Jakarta, Rabu (24/08), Direktur Jenderal Perdagangan Luar Negeri Kementerian Perdagangan (Kemendag), Dody Edward mengatakan, pada 2015 saja, ekspor rumput laut ke AS nilainya mendekati angka US$1 juta. “Jika delisting diberlakukan berpotensi menurunkan ekspor.”
Dody menambahkan, rencana AS itu perlu diwaspadai karena bisa berdampak pada negara tujuan ekspor Indonesia lainnya, seperti Uni Eropa. Jika itu terjadi, kerugian yang dialami Indonesia akan lebih besar.
“Apabila semua pasar tujuan ekspor memberlakukan hal yang sama seperti rencana AS, potensi kerugiannya bisa mencapai US$160,4 juta,” terang Dody.
Dody mengatakan Kemendag mencoba mencegah rencana delisting tersebut. Salah satunya dengan mendatangi sidang pembahasannya yang akan digelar US National Organic Standards Board (NOSB) pada 28 Oktober 2016 mendatang.
“Sidang tersebut akan menentukan apakah carrageenan tetap akan masuk pada National List of Allowed and Prohibited Substances yang diperbolehkan dalam makanan organik atau tidak," ungkapnya.
Dody menambahkan, rencana delisting produk rumput laut dari daftar bahan pangan organic tersebut dipicu oleh petisi Joanne K. Tobacman, M.D. (Tobacman) dari University of Illinois, Chicago, pada Juni 2008 kepada US Food and Drug Administration (FDA).
Petisi tersebut berisi permintaan untuk melarang penggunaan carrageenan sebagai bahan tambahan makanan yang terbuat dari rumput laut. Dari hasil penelitian Tobacman, ditengarai carrageenan dapat menyebabkan peradangan atau inflamasi yang memicu kanker.
Namun, petisi tersebut ditolak US FDA pada Juni 2008. Kemudian, petisi Tobacman tersebut diikuti publikasi LSM Cornucopia Institute dari AS pada Maret 2013. “LSM itu mendorong publik meminta US National Organic Standards Board (NOSB) agar mengeluarkan carrageenan dari daftar bahan pangan organik," paparnya.
Dody menyatakan, sebelum sidang pembahasan delisting rumput laut digelar, Indonesia akan mengikuti perkembangan di AS. Saat ini pihaknya akan membahas secara bilateral antar kedua negara tersebut.
Meski mengupayakan jalur diplomasi bilateral, namun Kemendag telah siap untuk menggelar lobi lanjutan. Tujuannya adalah menepis hasil penelitian Amerika soal rumput laut.
Upaya pertama yang dilakukan adalah menyatukan padangan dengan pemerintah China yang notabene saat ini juga jadi eksportir rumput laut olahan utama ke AS.
“Kami melakukan pertemuan dengan delegasi China dalam forum ASEAN Seaweed Industry Club (ASIC). Diharapkan hasilnya bisa membuat Amerika berubah pikiran sebelum sidang pembahasan itu digelar," imbuhnya.
Dody membeberkan alasan pihaknya begitu ngotot agar rumput laut tidak masuk dari daftar dislisting. Saat ini, konsumsi pangan organik di dunia menunjukkan peningkatan tren pertumbuhan nilai perdagangan produk organik.
Apabila produk rumput laut dikeluarkan dari daftar bahan pangan organik, maka hal itu akan merugikan Indonesia. Indonesia merupakan produsen utama rumput laut di dunia serta menyerap banyak tenaga kerja di daerah pesisir dan pulau-pulau terluar Indonesia.
Selama ini rumput laut menjadi bahan baku carrageenan dan agar-agar. Lima negara pemasok rumput laut terbesar dunia adalah Indonesia, Korea Selatan, Chili, China dan Irlandia.
Pada tahun 2015, tercatat ekspor Indonesia mencapai US$160,41 juta. Sementara ekspor tertinggi terjadi pada 2014 yang mencapai US$206,30 juta," tegasnya.
Sementara itu, Ketua Umum Gabungan Pengusaha Perikanan (Gappindo) Herwindo menilai pencoretan rumput laut dari daftar pangan organik di Amerika, bukan merupakan masalah besar. Karena selama ini pasar utama rumput laut Indonesia adalah China. Jumlah presentasenya juga sangat sedikit.
"Jadi masalah dislisting rumput laut Indonesia ke Amerika pengaruhnya tak banyak bagi perekonomian kita. Hal itu tak perlu dikhawatirkan dan dilebih-lebihkan," tandasnya.
Direktur Jenderal Perikanan Budidaya Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP) Slamet Soebjakto menambahkan, terlepas dari masalah yang dihadapi dengan pemerintah AS, rumput laut tetap menjadi komoditas unggulan Indonesia di pasar ekspor.
KKP pun terus memperluas wilayah budidaya rumput laut dan meningkatkan kualitas pengelolaannya."Salah satu lokasi yang akan dijadikan tempat percontohan budidaya rumput laut adalah Kabupaten Natuna, Kepulauan Riau,”terang dia.
Slamet menerangkan, areal percontohan budidaya rumput laut seluas 58 ha, saat ini sedang dibangun di Natuna. Area ini dikelola oleh 20 kelompok pembudidaya. “Kami pun mendukung budidaya rumput laut dengan bibit unggul kultur jaringan yang terbukti tumbuh lebih cepat dan menurunkan kadar carrageenan," katanya.
Ia menyebut, potensi budidaya rumput laut di Kabupaten Natuna mencapai 4.757,5 ha, sementara lahan yang terpakai baru sekitar 56 ha atau 0,01 persen. Apabila bila lahan itu dimanfaatkan secara optimal, maka hasil produksinya bisa mencapai 150.000 ton basah atau 22.000 ton kering per tahun. “Itu nilainya setara Rp176 miliar.”
Slamet menjelaskan, KKP bekerjasama dengan Perum Perikanan Indonesia (Perindo) untuk menyerap hasil produksi rumput laut ini. “Selain itu, kami juga sudah mengalokasikan kebun bibit rumput laut seluas 2,5 hektare (ha),” tandas Slamet.
© Copyright 2024, All Rights Reserved