DEMOKRASI sejatinya bukan budaya kita sebagai insan Indonesia. Musyawarah untuk mufakat dan Gotong Royong adalah darah daging Bangsa Indonesia. Atas dasar itu pula, sudah saatnya kembali ke UUD 1945 naskah asli.
Saya adalah seorang diantara 138 anggota DPR RI, yang menolak Amandemen UUD 1945 pada periode 1999-2004. Kecuali hanya 1 ayat tentang masa jabatan Presiden RI harus dibatasi.
Sikap yang hingga saat ini masih dipegang teguh. Terbukti, setelah 20 tahun mengimplementasikan UUD 1945 yang diamandemen dan berawal memasuki era multipartai, terjadi liberalisasi perpolitikan Indonesia, menjadi kompetisi dan berdemokrasi yang mana proses pemilihan Pemimpin menjadi mahal sekali sehingga makin mendorong "korupsi berjamaah".
Melihat fakta itu, jangan salahkan bila ada banyak tanggapan yang menyebut, 'Era Reformasi' di tahun 1999, setelah tumbangnya Rezim Orde Baru yang notabene otoriter, membuat pendulum politik saat itu bergerak secara ekstrem menjadi liberal sekali dan memasuki era kompetisi dan demokrasi yang justru merusak sendi sendi kehidupan berbangsa dan bernegara.
Sejatinya, menurut saya, dalam bernegara tidak diperkenankan mengambil langkah "Trial and error" karena menyangkut kehidupan 270 Juta Rakyat Indonesia.
Budaya dan filosofi barat yang jadi rujukan, dimana mereka mempunyai habit hitam-putih, salah-benar, kompetisi dan demokrasi adalah memang bagian dari kehidupan mereka.
Namun, hal itu tidak bisa diterapkan di Asia yang lebih membangun keseimbangan, Yin Yang, khususnya Indonesia yang berlaku pada harmonisasi, musyawarah untuk mufakat dan Gotong Royong.
Karena itu pula, karakter konservatif dalam mengelola negara dan bernegara sungguh diperlukan, sehingga arah mewujudkan kemakmuran dan kesejahteraan Bangsa Indonesia dapat menjadi kenyataan, bukan mimpi, bukan halusinasi dan bukan Fatamorgana.
Dampak Pemilu 2024
Ketidakcocokan 'kontur' itu pula yang membuat Pemilihan Umum (Pemilu)!2024 terjadi kristalisasi partai politik, antara partai yang sektarian, kelompok partai yang bergotong royong, dan partai yang kuat pada ego kepartaiannya.
Tiga kelompok ini mendorong kepada formasi partai di era orde baru, dan yang telah mampu menyederhanakan Pemilu.
Tak salah jika kemudian, ada asa yang dilimpahkan ke pundak Prabowo sebagai Presiden RI, yang tentunya diharapkan mempunyai keberanian menata kembali kehidupan Politik di Indonesia, setidaknya dapat mempersatukan koalisi yang telah dibangun oleh Jokowi untuk mewujudkan sebuah koalisi permanen yang sekurang kurangnya menguasai 2/3 kursi di DPR RI.
Di mana dalam hal ini, perlu komitmen dari seluruh Ketum partai yang ambil bagian dalam koalisi ini dan sebaiknya UUD 1945 tetap membatasi masa jabatan Presiden untuk 2 atau 3 periode saja.
Di Tiongkok, meskipun dikuasai oleh sebuah partai komunis, namun pemimpinnya bijak untuk membangun sebuah partai kecil yang mewadahi warga diaspora (Huaqiao) Tiongkok, yang juga telah mengenyam pendidikan barat.
Dengan profesionalismenya, partai kecil diberi jatah sebagai menteri Riset dan Teknologi, sehingga Warga Negara Tiongkok yang memiliki kapabilitas dan ingin kembali ke negaranya, telah mempunyai tempat untuk bersama membangun bangsa yang sejahtera.
Dengan contoh di atas pula, harapan kepada pemerintahan Prabowo agar mempunyai inovasi dan formula baru membangun sebuah bangsa Indonesia yang Makmur dan sejahtera akan dapat dibangun fundamental yang kuat untuk mewujudkannya.
Sebab, dalam era multipartai dan Reformasi yang telah berjalan selama 20 tahun telah tidak mampu memberi jawaban terhadap arah pembangunan manusia Indonesia yang makmur dan sejahtera.
Semua unsur pemerintahan hampir dipastikan hanya mengelola hal rutinitas saja.
Isu bonus demografi, jika hal tersebut benar, itupun diragukan untuk mewujudkan tingkat kemakmuran yang lebih baik dan income per capita yang tinggi serta pemerataan untuk rata rata Rakyat Indonesia.
Setelah mengenal Presiden Jokowi yang oleh publik dinilai banyak berbohong dan membohongi Rakyat Indonesia, maka issue demografi ini hanya digunakan untuk kepentingan politik pribadi, keluarga dan kelompoknya saja, terlebih jika nanti saat 2045 ("If There is nothing"), maka ucapan Jokowi adalah kebohongan belaka dan akan terbukti saat nanti, mengingat 20 tahun bukan waktu yang panjang untuk mengubah mental attitude Bangsa untuk meraih kemakmuran.
Penataan kembali format politik dibawah pemerintahan Presiden Prabowo merupakan konsolidasi berbangsa dan meletakkannya pada track yang tepat agar dengan budaya bangsa, kita dapat menjaga stabilitas politik serta mewujudkan kemakmuran masyarakat Indonesia.
Akhirnya sampailah kita pada pilihan Presiden Jokowi bahwa Presiden ke 8 haruslah pemberani, maka kami ini segenap bangsa Indonesia sedang menanti Presiden Prabowo yang pemberani untuk menata suprastruktur politik yang dapat mengayomi dan memakmurkan Bangsa Indonesia tanpa tercabut dari akar budaya yang telah dimiliki selama berabad abad.
Selamat bekerja Presiden RI yang baru. Selamat berpikir demi kepentingan mayarakakat Indonesia. Bravo Bapak Presiden RI ke 8 Prabowo Subianto.
*Penulis adalah Veteran Politik (1999-2009), Tinggal di Semarang
© Copyright 2024, All Rights Reserved