JUMLAH penduduk di Indonesia sebanyak 278,7 juta jiwa tahun 2023 dan tumbuh sebesar 1,13% per tahun (BPS, 2024).
Dengan perkiraan sangat kasar setiap rumah tangga berpenghuni 5 orang, maka di Indonesia terdapat 55,74 juta rumah tangga tahun 2023.
BPS memprediksi distribusi status kepemilikan bangunan tempat tinggal yang ditempati rumah tangga berupa kontrak/sewa sebanyak 5,05% (2,81 juta rumah tangga) dan status lainnya sebanyak 10,16% (5,66 juta rumah tangga).
Artinya, terdapat persoalan sebanyak 8,47 juta rumah tangga yang status kepemilikan bangunan tempat tinggal yang ditempati bukan milik sendiri di Indonesia tahun 2023.
Sebelumnya menyadari bahwa kebutuhan rumah untuk rakyat merupakan kebutuhan rumah tangga yang penting, maka pemerintah bersama DPR memberlakukan UU 4/2016 tentang Tabungan Perumahan Rakyat (Tapera).
Persoalannya adalah pada Pasal 7 ayat (1) dalam UU 4/2016 menyatakan setiap pekerja dan pekerja mandiri yang berpenghasilan paling sedikit sebesar upah minimum wajib menjadi peserta (Tapera).
Ayat (2) menyatakan pekerja mandiri yang berpenghasilan di bawah upah minimum dapat menjadi peserta. Ayat (3) menyatakan bahwa peserta telah berusia paling rendah 20 tahun atau sudah kawin pada saat mendaftar.
Persoalan meningkat, karena Tapera diwajibkan pada setiap pekerja, namun merupakan pilihan untuk pekerja mandiri di bawah upah minimum. Dengan kata lain, pemerintah mencabut kebebasan pekerja dalam menabung untuk memiliki rumah.
Di samping itu sebanyak 47,27 juta rumah tangga yang sudah memiliki rumah milik sendiri juga diwajibkan untuk menabung di Tapera selama rumah tangga tadi berstatus sebagai pekerja dan pekerja mandiri, yang berpenghasilan minimal sebesar upah minimum.
Gagasan subsidi silang dari rumah tangga pemilik rumah sendiri kepada rumah tangga bukan pemilik rumah sendiri, namun tanpa hubungan kekeluargaan atas dasar hubungan pernikahan, ini kemudian menimbulkan resistensi. Resistensi bukan hanya dari Partai Buruh dan organisasi buruh, melainkan juga dari kalangan sebagian asosiasi pengusaha.
Niat baik pemerintah untuk mengurusi 8,47 juta rumah tangga supaya mempunyai kepemilikan bangunan tempat tinggal yang ditempati rumah tempat milik sendiri sungguh dicurigai tidak tulus, melainkan lebih dicurigai untuk maksud motif pengerahan dana masyarakat, yakni ketika pemerintah pusat dan pemerintah daerah semakin mengalami isu keberlanjutan fiskal.
Pengambilalihan peran 47,27 juta rumah tangga terhadap 8,47 juta rumah tangga untuk berhasil memiliki bangunan tempat tinggal milik sendiri, menjadi sebagai peran pemerintah kemudian dipersoalkan.
PP 21/2024 tentang perubahan atas PP 25/2020 Tapera pun diminta dicabut oleh demonstrasi Partai Buruh dan organisasi buruh. Pasal yang ditolak adalah Pasal 15 ayat (1), yang menyatakan besaran simpanan peserta ditetapkan sebesar 3 persen dari gaji atau upah untuk peserta pekerja dan penghasilan untuk pekerja mandiri.
Partai Buruh dan organisasi buruh menolak, karena upah minimum saja sudah dirasakan sebagai upah murah yang memberatkan para pekerja, terlebih untuk pekerja alih daya (outsourcing). Di tengah semakin ketidakpastian untuk menjadi kelas pekerja berstatus tetap, maka kewajiban menabung 3% diyakini semakin memberatkan kelas pekerja.
Asosiasi pengusaha juga berkeberatan, karena bukan hanya Perusahaan wajib menanggung 0,5% dari kewajiban menabung, melainkan untuk memotivasi pekerja lebih bersemangat dalam bekerja, maka pengusaha musti menaikkan upah atau tunjangan.
Urusan Tapera bersifat wajib ataukah tidak wajib kemudian melebar kemana-mana, yang berbeda dibandingkan bisnis pengadaan rumah yang diselenggarakan oleh BUMN dan perusahaan swasta, maupun perseorangan.
Pada bisnis pengadaan rumah tempat tinggal, sekalipun cara pembayaran secara kredit, namun dalam hitungan bulan, maka rumah tempat tinggal yang sudah terjadi kesepakatan pembayaran uang muka, biaya administrasi, dan kontrak kredit rumah, maka rumah tempat tinggal dapat ditempati. Sisanya, para debitur kredit rumah tempat tinggal dapat mengangsur biaya pokok dan bunga sampai dengan lunas berdasarkan masa kredit rumah (tenor) yang disepakati.
Sementara itu, isu yang berkembang adalah pekerja belum pasti akan memiliki tempat tinggal milik sendiri sekalipun nanti sudah pensiun jika menggunakan skema Tapera. Persoalan ini yang perlu dipastikan kebenarannya oleh BP Tapera.
Masalah lainnya yang bersifat mendasar adalah harga tanah, bahan bangunan, upah buruh bangunan, laju inflasi makanan dan minuman naik tinggi dan terus-menerus. Meskipun laju pertumbuhan penduduk telah semakin menurun, namun harga-harga tersebut melaju lebih cepat dibandingkan kenaikan upah minimum.
Sementara itu kemampuan pemerintah dalam mengendalikan kenaikan harga-harga tersebut kurang efektif. Harga tanah dan spekulasi penjualan harga tanah melaju melenting tinggi.
Kondisi perekonomian tersebut menimbulkan kekhawatiran pada generasi Z dan milenial untuk berhasil memiliki bangunan tempat tinggal milik sendiri. Yang terjadi adalah kepemilikan kontrak/sewa dan lainnya naik, yang dijadikan sebagai pilihan dibandingkan status kepemilikan milik sendiri.
Dewasa ini UU Pemilu dan Pilkada diubah oleh Mahkamah Konstitusi dan Mahkamah Agung, menjadi rumor supaya anak-anak dan mantu presiden mempunyai pekerjaan bergengsi sebagai Wapres dan Cagub. Begitu pula untuk keberadaan rumor lainnya yang meningkatkan rasa ketidakpastian, seperti keberlanjutan pindah ibukota negara di IKN.
Skandal korupsi Asuransi Jiwasraya, Asabri, dan lainnya berkembang tidak terkelola dengan baik, maka inovasi Tapera akan segera berakhir sekalipun pemerintah menyosialisasikan dampak positif atas manfaat BPJS dibandingkan tanpa BPJS.
Singkat kata, sosialisasi Tapera akankah kalah dibandingkan aspek ketidakpastian informasi. Informasi, yang di dalamnya terkandung kepentingan bisnis perumahan, kos-kosan, kontrak rumah, dan bisnis perkreditan perbankan maupun non bank, yang menguntungkan dan berkembang pesat bagaikan jamur di musim hujan.
*Peneliti Institute for Development of Economics and Finance (Indef), Pengajar Universitas Mercu Buana
© Copyright 2024, All Rights Reserved