Mahmakah Konstitusi (MK) akan mulai menangani ratusan gugatan hasil pilkada mulai Kamis (07/01) besok. MK menggandeng Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) untuk mencegah terjadinya korupsi dan gratifikasi dalam penanganan perkara tersebut. Sejumlah pelajaran berharga dipetik MK, dari kasus pahit yang menyeret mantan ketuanya, Akil Mochtar.
Menerima kunjungan pimpinan KPK, Rabu (06.01), Ketua MK Arief Hidayat bercerita, pihaknya kini masih disibukkan oleh masalah pilkada. Arief mengatakan, sejak awal MK telah melakukan sosialisasi dan menggandeng KPK sebagai tim supervisi.
“Audit internal selalu disupervisi teman-teman KPK. Jadi kita bisa lakukan pencegahan korupsi dan gratifikasi karena bagaimana pun kita harus kasih contoh dari pengalaman yang pahit, sehingga tidak ada kebocoran dana," ujar Arief.
Wakil Ketua KPK Alexander Marwata mengatakan, kasus Akil Mochtar harus dijadikan pelajaran. Ia menilai, lamanya jeda antara waktu musyawarah panel dengan putusan yang dibacakan bisa mendorong terjadinya hal-hal yang tidak diinginkan oleh hakim.
”Pelajaran kasus Akil Mochtar, saya simpulkan kejadian itu kan karena kurang transparansi. Kalau dari penanganan perkara sudah fair. Tapi saya lihat ada jeda waktu 5 hari antara musyawarah majelis hakim MK dan pembacaan putusan. Bagaimana semakin pendek (jeda waktu) musyawarah dengan pembacaan putusan, mungkin bisa beda," kata Alexander.
Alex mengatakan, selama menanti keputusan para calon kepala daerah itu psikologisnya tertekan dan mudah terpancing. Tak ayal berbagai cara dilakukan mereka untuk keluar sebagai pemenang, salah satunya dengan bermain mata dengan pimpinan MK kala itu.
"Dari berbagai kasus yang saya tangani, karena kondisi psikologis mereka dalam posisi labil si kepala daerah jadi gampang sekali termakan rumor. Jadi mereka terpancing padahal fakta persidangan sudah clear. Semakin jeda waktu singkat antara musyawarah dan pembacaan keputusan semakin baik," ujar dia.
Menanggapi itu, Arief mengaku godaan suap terhadap Ketua MK memang cukup besar. Bagaimana tidak, semua surat dari berbagai pihak masuk ke ketua.
“Surat itu masuk ke ketua, kalau tersangkut di ketua kan disimpan saja. Memang saya dengar banyak surat yang masuk tapi ternyata sama Pak Ketua disimpan. Ketua tidak bisa mengarahkan mereka, dewan etik memang menjaga marwah kita ada di tempat yang sejajar jangan sampai kita terpelincir. Sehingga dengan adanya Dewan Etik dari tokoh masyarakat dan akademisi yang senior dibentuk sejak awal pada waktu kita kena kasus 2013," kata Arief.
Arief menambahkan, pihaknya harus memutuskan suatu perkara berdasarkan sila Ketuhanan Yang Maha Esa. Sebab apapun keputusan yang mereka ambil akan mempengaruhi hajat kehidupan orang banyak.
"Di MK saya atau pak wakil mau baca keputusan kan arahnya keadilan, sehingga kita inginnya hukum pun disinari Ketuhanan Yang Maha Esa. Petanggungjawabannya ke atas bukan cuma horizontal. Itu semua harus kita depankan enggak boleh bermain-main," sambungnya.
Arief mengaku, kasus Akil yang terjadi 2013 telah membuat MK terpuruk. “Kami sangat terpuruk dan menjadikan kami trauma, saya baru masuk ada kasus kayak gitu. Saya sudah hampir mau resign waktu itu, tapi saya konsul lagi malah ada kasus begini jangan mundur," imbuh Arief.
© Copyright 2024, All Rights Reserved