Konsumsi rokok masyarakat Indonesia terus mengalami peningkatan. Usia tertinggi pengguna rokok berkisar antara 30 hingga 34 tahun, tapi diusia 20 hingga 24 tahun terjadi peningkatan paling tajam sampai 30 persen. Padahal usia tersebut merupakan pasar produktif untuk masuk dunia kerja.
Wakil Kepala Lembaga Demografi Universitas Indonesia Abdillah Ahsan mengatakan, apabila konsumsi rokok masyarakat Indonesia bisa dikurangi, maka akan meningkatkan pertumbuhan ekonomi Indonesia yang didorong oleh bonus demografi.
Menurutnya, apabila konsumsi rokok masyarakat terus mengalami peningkatan, dikhawatirkan pertumbuhan ekonomi yang tinggi di tahun 2030 tidak bisa tercapai. Pasalnya, akan banyak angkatan kerja yang kesehatannya terganggu akibat dampak negatif dari rokok. Sehingga yang terjadi bukannya bonus demografi, melainkan petaka demografi. Lantaran usia kerja banyak yang tak maksimal produktivitasnya.
"Seharusnya bonus demografi itu jangan dilihat peluangnya, tapi juga ancamannya yang akan terjadi. Bonus demografi karena tinggi jumlah manusia usia produktif diperkirakan akan terjadi pada rentang 2030. Itu menjadi peluang peningkatan pertumbuhan ekonomi dengan ketersediaan dukungan sumber daya manusia yang berkualitas. Namun, saat ini terjadi peningkatan hingga 30 persen pemuda di Indonesia yang mengkonsumsi rokok. Karena mereka adalah target industri rokok tertinggi,” ungkapnya kepada politikindonesia.com usai diskusi "Ekonomi Indonesia dalam Bahaya Rokok", di Jakarta, Kamis (14/04).
Dijelaskan, saat ini pengguna rokok paling banyak adalah nelayan, buruh dan petani. Angkanya bisa mencapai 51 persen. Padahal, konsumsi rokok terkait dengan biaya penyakit yang mahal, seperti jantung stroke dan kanker. Maka, tak heran pengeluaran negara untuk biaya kesehatan terus meningkat mencapai Rp1,8 triliun di 2014 dan menjadi Rp2,2 triliun pada tahun 2015.
"Pemerintah pun mau membayarkan asuransi kesehatan ke peserta kesehatan yang merokok. Sehingga, penyakit meningkat dan biaya kesehatan juga meningkat. Situasi seperti ini yang diuntungkan adalah industri rokok karena cukai murah. Padahal seharusnya perokok yang sakit menuntut ke perusahaan rokok, jangan ke pemerintah," ujarnya.
Sementara itu, mantan Guru Besar FEUI Emil Salim menambahkan muda Indonesia khususnya yang memiliki usia produktif terancam bahaya rokok. Puncak usia perokok dini dimulai pada umur 15 hingga 19 tahun, untuk laki-laki mencapai 53,7 persen. Padahal generasi tersebut akan menjadi penopang ekonomi dan sumber daya manusia Indonesia pada tahun 2045 mendatang.
"Generasi produktif harus ditingkatkan kualitas intelektualitas dan kesehatan jasmani rohani untuk membawa Indonesia lepas landas pada 2045. Karena pada tahun 2045, Indonesia akan memiliki bonus demografi. Jumlah usia produktif pada tahun itu lebih banyak dibandingkan dengan jumlah usia non produktif yang harus ditanggung. Namun, apabila bonus tersebut diselimuti oleh bahaya rokok, maka ekonomi Indonesia juga akan terancam," paparnya.
Emil mengatakan beberapa langkah sudah diambil oleh pemerintah untuk menurunkan jumlah prevalensi perokok di Indonesia melalui Peraturan Presiden No. 2 Tahun 2015 tentang Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN). Dalam aturan tersebut, salah satu sasaran pembangunan kesehatan adalah menurunkan prevalensi penduduk usia 18 tahun ke bawah dari 7,2 pada tahun 2013 ke sasaran 5,4 pada 2019 atau penurunan sebesar 25 persen dalam 5 tahun.
"Oleh sebab itu, saya meminta agar Peraturan Menteri Perindustrian (Permenperin) Nomor 63/M-IND/PER/8/2015 tentang Peta Jalan Industri Hasil Tembakau 2015-2020 dapat direvisi dan berpotensi dicabut. Karena Permenperin soal roadmap industri tembakau, tak sesuai dengan rencana presiden yang ingin menurunkan konsumsi rokok generasi muda di bawah usia 18 tahun," ucapnya.
Dipaparkan, sebenarnya ada beberapa keganjilan dalam aturan tersebut, antara lain adalah rokok kretek dijadikan sebagai produk warisan budaya bangsa dengan tidak menyinggung dampak negatif dari rokok tersebut. Karena data Kemenprin, produksi kretek mengalami kenaikan di bawah 1 persen. Sehingga pada tahun 2015, tercatat produksi mencapai 77 miliar batang. Diprediksi pada tahun 2020 naik menjadi 77,5 miliar batang.
"Sedangkan untuk produksi rokok mild atau yang menggunakan mesin dan tidak menyerap tenaga kerja cukup tinggi, pada tahun 2015 jumlah produksi mencapai 161,8 miliar batang dan pada 2020 diperkirakan mencapai 306,2 miliar batang. Rokok mild naik hampir 100 persen karena kadar nikotin mild relatif rendah sehingga digemari oleh perokok muda," katanya.
Emil menambahkan, jika dilihat dari jumlah tenaga kerja pada industri pengolahan tembakau mengalami penurunan sebesar 17 persen, tercatat dari tahun 2008 sebanyak 346.042 jiwa menjadi 281.571 jiwa. Penurunan tersebut akibat dari industri pengolahan tembakau yang padat karya beralih ke sistem mekanisasi mesin dalam berproduksi.
"Jumlah perokok bertambah, akan tetapi jumlah pekerja tidak mengalami pertambahan. Karena perubahan ke sistem mekanisasi produksi rokok yang sudah menggunakan mesin sehingga tak lagi membutuhkan tenaga manusia," pungkasnya.
© Copyright 2024, All Rights Reserved