Gempa bumi dan tsunami seperti yang terjadi di Aceh pada 2004 lalu, berpotensi terjadi di selatan Pulau Jawa, Bali, dan Nusa Tenggara. Potensi itu berdasarkan penelitian endapan tsunami di beberapa wilayah selatan Pulau Jawa, Bali, dan Nusa Tenggara.
Hal itu disampaikan peneliti sekaligus pakar geologi dari Brigham Young University, Profesor Ron Harris, dalam diskusi terkait mitigasi bencana gempa bumi di Jakarta, Jumat (04/08). Hipotesa itu berdasarkan penelitian yang dilakukannya, pada 2016.
Diterangkan Harris, timnya mendapatkan pola endapan tsunami purba, berupa endapan pasir di dalam tanah yang terbawa saat terjadi gelombang, berupa dua garis endapan pasir.
Pola endapan tersebut memiliki hasil yang sama di lokasi-lokasi penelitian, yakni Pelabuhan Ratu Jawa Barat, Pangandaran Jawa Barat, Pacitan Jawa Timur, Bali, Lombok dan Sumba Nusa Tenggara Barat, Timor dan Waingapu Nusa Tenggara Timur.
Dia mengataka, pola endapan pasir tsunami purba tersebut digunakan untuk mengetahui terjadinya tsunami di masa lalu sekaligus memprediksi pengulangan tsunami di masa datang.
Harris menilai, selama ini masyarakat Indonesia hidup di masa tanpa aktivitas gempa bumi dan tsunami atau disebutnya berada pada fase "tidur". Namun pada waktunya akan ada pada saat fase bangun di mana gempa-gempa bermunculan.
Profesor yang kerap melakukan penelitian tentang tsunami di Indonesia itu menerangkan, bahwa masa tanpa aktivitas gempa dan tsunami tersebut dikarenakan tumbukan dua lempeng tektonik, yakni Indo-Australia dan Eurasia, sedang saling mengunci.
Ia menyebut, salah satu lempeng tersebut sedang mendorong lempeng yang lainnya. Sementara lempeng yang terdorong menjadi melengkung secara terus menerus, hingga pada akhirnya lempengan yang melengkung mendorong balik hingga akhirnya terjadi pergeseran lempeng tektonik yang menyebabkan gempa bumi dan tsunami.
Berdasarkan kalkulasi dari penelitian tersebut, pergeseran lempeng tektonik yang akan terjadi cukup berpotensi untuk menimbulkan gempa dengan kekuatan di atas 9 skala richter. “Potensi itu cukup membuat gempa berkekuatan 9,1 skala richter, atau mungkin 9,2, atau bahkan 9,5," ujar Harris.
Ia memprediksi, gempa dengan kekuatan sebesar itu akan berlangsung selama 20 detik. Dampaknya, bisa menimbulkan gelombang tsunami maksimal setinggi 20 meter dengan kecepatan 620 kilometer per jam. Gelombang itu bisa mencapai bibir pantai dalam waktu sekitar 20 menit. “Gempa di Indonesia itu unik, karena pusat gempanya sangat dekat dengan daratan," kata Harris.
Waktu tempuh gelombang ke bibir pantai selama 20 menit didapat melihat dari pusat gempa yang pernah terjadi di Pangandaran berjarak 230 kilometer dari pantai.
Harris mengatakan, potensi terjadinya gempa besar itu dengan istilah “20-20-20” yakni 20 detik durasi gempa, 20 menit lamanya gelombang mencapai pantai yang berarti masyarakat memiliki waktu tersebut untuk evakuasi, dan 20 meter tinggi maksimal gelombang yang artinya penduduk harus mencari tempat evakuasi dengan ketinggian 20 meter.
Ia menambahkan, gempa besar itu bisa terjadi sewaktu-waktu dan tidak bisa diperediksi kapan dan di mana letak pusatnya. Namun lokasi-lokasi yang berada dalam wilayah bahaya ialah Pangandaran, Pelabuhan Ratu, Pacitan, Banyuwangi, Madura, Denpasar dan Nusa Dua Bali, Lombok dan Sumba NTB, Waingapu dan pesisir selatan pulau Timor NTT.
© Copyright 2024, All Rights Reserved