A. Pendahuluan
Masalah moral merupakan masalah yang sekarang ini sangat banyak meminta perhatian, terutama bagi para pendidik, ulama, pemuka masyarakat dan para orang tua. Tidak henti-hentinya kita mendengar berita tentang tindakan kriminalitas yang dilakukan oleh anak-anak, seperti yang terjadi di beberapa daerah yang hampir setiap minggu diberitakan di berbagai media, baik media cetak maupun elektronik. Bagi warga Ibukota bukan suatu hal yang aneh apabila mendengar atau melihat anak-anak sekolah melakukan tawuran (perkelahian antar pelajar) yang tidak sedikit menimbulkan sejumlah korban. Diperlukan waktu yang panjang dan upaya pendidikan yang sungguh-sungguh untuk mengatasi kondisi ini. Oleh karena itu pembahasan ini akan terpusat pada perkataan pendidikan dan ketahanan moral. Apakah pendidikan itu? Apakah ketahanan moral itu? Demikian pembahasan ini kita batasi pada kedua perkataan di atas.
Pendidikan dalam hal ini diartikan secara luas, yaitu sebagai upaya untuk mentransformasikan nilai-nilai, sikap, pengetahuan dan keterampilan tertentu dari generasi sebelumnya kepada generasi berikutnya. Pendidikan merupakan alat strategis untuk membentuk dan mengembangkan nilai, sikap dan moral dari generasi sebelumnya kepada generasi berikutnya. Adapun moral sama dengan etika, atau kesusilaan yang diciptakan oleh akal, adat dan agama, yang memberikan norma tentang bagaimana kita harus hidup. (Panuju, 1995). Moral dapat diukur secara subyektif dan obyektif. Kata hati atau hati nurani memberikan ukuran yang subyektif, adapun norma memberikan ukuran yang obyektif. (Hardiwardoyo,1990). Apabila hati nurani ingin membisikan sesuatu yang benar, maka norma akan membantu mencari kebaikan moral. Anak yang berusaha hidup baik secara tekun dalam waktu lama dapat mencapai keunggulan moral yaitu bersikap batin dan berbuat lahir secara benar.
Ketahanan moral dapat diartikan sebagai ketahanan anak untuk mempertahankan eksistensi kepribadiannya atau keunggulan moralnya di tengah majemuknya nilai-nilai moral bangsa lain. Hal ini berlaku terutama pada anak yang hidup di lingkungan masyarakat modern. Kemajuan pesat terjadi di semua sudut kota, pada sisi lain tidak sedikit orang yang tidak mempunyai lagi norma kebaikan. Norma-norma lama sudah tidak meyakinkan lagi untuk menjadi pegangan. Kenyatannya, anak tidak dapat lari dari hati nuraninya, tapi hati nurani pun tidak berdaya menemukan kebenaran, apabila norma-norma yang biasanya dipakai sebagai landasan pertimbangan menjadi serba tidak pasti. Anak berhadapan dengan berbagai tipe manusia, tutur kata, gaya hidup, dan tingkah laku moral.yang bervariasi. Pola kehidupan masyarakat pun semakin cenderung individualis, dengan kontrol sosial yang relatif longgar. Munculah fenomena baru sebagai model bagi anak yaitu teman sepermainannya, atau tokoh-tokoh serial televisi. Demikian upaya untuk membina ketahanan moral menjadi sesuatu yang tidak dapat ditunda. Ketahanan moral dalam hal ini selain harus bersifat defensif hendaknya juga bersifat generatif. Generatif mengandung arti bahwa seorang anak harus mampu menumbuhkan dan mengembangkan ketahanan moralnya sendiri dari dalam, dari keyakinannya pada prinsip-prinsip ajaran llahi, akal pikirannya dan tradisi yang dijunjung tinggi Melalui ketanan moral yang bersifat generatif, selanjutnya anak meneruskan eksistensinya sehingga mampu mencapai generasi harapan bangsa. Berdasarkan paparan di atas, sampailah kita pada satu pendapat bahwa agar anak memiliki ketahanan moral, maka lingkup pendidikan semestinya tidak hanya terbatas pada arena pendidikan yang bersifat formal, melainkan juga yang bersifat informal yaitu suatu lingkungan dimana anak menjalani kehidupan kesehariannya baik di dalam lingkungan keluarga maupun di lingkungan masyarakat. Hal ini relevan dengan isi UU No. 2/1989 yang menyatakan bahwa pendidikan nasional meliputi pendidikan persekolahan dan pendidikan luar sekolah.
B. Konsep Pendidikan Moral
Para akhli mengemukakan pendapat bahwa pendidikan moral dapat dilakukan melalui konsep sebagai berikut.
1. Konsep Pengalaman
Aspek pengalaman dalam pendidikan dapat kita lihat dalam buah pikiran John Dewey.(1859-1952). Dewey berpendapat bahwa pendidikan adalah proses rekonstruksi dan reorganisasi pengalaman-pengalaman. Melalui pengalaman seseorang akan memperoleh makna dan sekaligus peluang untuk memperoleh pengalaman berikutnya. Untak itulah J.Dewey menegaskan bahwa konsep pengalaman merupakan intipati pendidikan. Kunci untuk memahami diri dan dunia kita menurut Dewey, tiada lain adalah pengalaman-pengalaman kita sendiri. Dengan kata lain J.Dewey mencita-citakan adanya strategi pendidikan moral yang mengangkat pengalaman hidup anak didik. Pengalaman hidup ini bisa berasal dari aktivitas keseharian, ataupun dari kegiatan yang diprogramkan oleh lembaga-lembaga tertentu.
2. Konsep Perkembangan Moral
Konsep perkembangan moral dapat kita cermati dari buah pikiran Piaget dan Norman J.Bull. Jean Piaget adalah wakil Direktur Institute of Educational Sciences dan Professsor Psikologi Eksperimental di University of Geneve. Piaget secara intensif telah melakukan penelitian selama lebih dari 40 tahun terhadap "Perkembangan Struktur Kognitif (Cognitive Structure) dan Pertimbangan Moral (Moral Judgement). Piaget dan Norman J. Bull berpendapat bahwa pendidikan moral akan berhasil, apabila pendidikan itu dilakukan sesuai dengan tahap perkembangan moral anak. Dengan kata lain kedua akhli ini mencita-citakan adanya strategi pendidikan moral yang disesuaikan dengan tahap-tahap perkembangan moral anak. Piaget mendefinisikan tahap perkembangan moral sebagai berikut: (1) Pre-moral yaitu anak tidak merasa wajib untuk menaati peraturan. (2) Heteronomi yaitu anak merasa bahwa yang benar adalah patuh pada peraturan dan harus menaati kekuasaan. (3) Autonomi yaitu anak telah mempertimbangkan tujuan dan konsekuensi ketaatannya kepada peraturan. Adapun Norman J. Bull (I969) berkesimpulan bahwa tahap perkembangan moral itu adalah: (1) Anomi yaitu anak tidak merasa wajib untuk menaati peraturan. (2) Heteronomi yaitu anak merasa bahwa yang benar adalah patuh kepada peraturan, dan merasa perlu menaati kekuasaan.(3) Sosionomi yaitu anak merasa bahwa yang benar adalah patuh pada peraturan yang sesuai dengan peraturan kelompok. (4) Autonomi yaitu anak telah mempertimbangkan konsekuensi ketaatannya pada peraturan.
Dalam perkembangan moral itu titik heterotomi dan autonomi lebih menggambarkan proses perkembangan dari pada totalitas mental individu. Melalui pergaulannya anak mengembangkan pemahamannya mengenai tujuan dan sumber aturan. Sampai usia tujuh atau delapan tahun anak dikendalikan oleh seluruh aturan. Terhadap aturan yang berasal dari luar, anak belum memiliki pengertian dan motivasi untak konsisten. Pada tahap autonomi anak menyadari akan aturan dan menghubungkannya dengan pelaksanaannya. Tahap berikutnya adalah pelaksanaan autonomi.
3. Konsep Pertimbangan Moral
Konsep pertimbangan moral sejumlah enam tingkat dikemukakan oleh Lawrence Kohlberg pada tahun 1955. Dalam perkembangan berikutnya Kohlberg mencetuskan lagi konsep yang ketujuh. Kohlberg pada awalnya mendefinisikan kembali dan memvalidasi tingkat dan tahapan yang dirintis oleh Dewey dan Piaget melalui pengkajian secara bergelombang dan dari latar belakang budaya berbeda. Lawrence Kohlberg adalah Profesor Pendidikan dan Psikologi sosial pada Harvard University. Seperti Piaget, Kohlberg tidak memusatkan perhatian pada tingkah laku moral, artinya apa yang dilakukan oleh seorang individu tidak menjadi pusat pengamatannya. Kohlberg berpendapat bahwa memperhatikan pertimbangan mengapa suatu tindakan itu disebut benar atau salah akan lebih memberi penjelasan daripada memperhatikan tindakan seseorang atau bahkan mendengar pernyataannya bahwa sesuatu itu salah. Kohlberg lebih memusatkan perhatian pada pertimbangan (penalaran) subyek mengenai apa yang akan dilakukan. Dengan kata lain Kohlberg menyebutkan bahwa pendidikan moral akan berhasil dengan baik, apabila pendidikan itu dilakukan dengan memperhatikan pertimbangan moral anak. Inilah ciri khusus Kohlberg yang membedakannya dari pendapat-pendapat lain yang lebih memusatkan perhatian pada tingkah laku moral. Dapat dikatakan bahwa Kohlberg mencita-citakan adanya pendidikan moral yang memperhatikan pertimbangan moral anak.
Struklur pertimbangan moral (moral judgement) berbeda dengan isi pertimbangan moral (content of moral judgement). Pilihan untuk minum atau tidak minum merupakan isi pertimbangan moral. Adapun dasar pemikiran mengenai pilihan itu merupakan struktur pertimbangan moral. Menurut Kohlberg (Sumantri, 1994) struktur pertimbangan moral itu adalah sebagai berikut:
I. Pra Konvensional (Pre Conventional Level) meliputi:
a. Orientasi kepatuhan karena takut hukuman. Kepatuhan terhadap norma karena takut hukuman fisik.
b. Orientasi kepatuhan karena alat. Mematuhi norma karena mengharapkan sesuatu.
2. Tingkat Konvensional (Conventional Level) meliputi:
a. Orientasi kepatuhan karena ingin diterima orang lain. Menaati norma karena ingin menyenangkan orang lain.
b. Orientasi kepatuhan karena memelihara tertib sosial. Mematuhi hukum ditujukan untuk memelihara tertib sosial.
3. Tingkat Pasca Konvensional (Post Convensional Level)
a. Orientasi kepatuhan kepada kesepakatan sosial yang telah baku. Tindakan yang baik mencerminkan hak-hak individu yang sesuai dengan standar yang telah teruji. Jadi tindakan yang baik itu adalah tindakan yang dapat menerima perubahan hukum apabila hukum itu sudah tidak sesuai lagi.
b. Orientasi pada prinsiprinsip etika universal (Universal Ethical Principle Orientation).Tindakan yang baik itu ialah tindakan yang tidak lagi didasari oleh tertib sosial tertentu, melainkan didasari oleh prinsip-prinsip universal tentang keadilan, resiprositas, hak-hak azasi manusia.
c. Orientasi pada rasa cinta sebagai suatu refleksi. Tindakan yang baik itu adalah tindakan yang berdasar pada keperayaan terhadap Tuhan (supreme policy), dengan keyakinan bahwa Tuhan adalah Maha Pengasih dan Tuhan adalah Maha Pemberi Petunjuk. (God is confident dan God is principle behind morality).
Setiap orang akan melalui seluruh struktur pertimbangan moral. Orang di tahap dua hanya dapat memahami tahap ketiga..Orang di tahap satu dimotivasi oleh tahap dua, dan tahap dua oleh tahap tiga dan seterusnya.
Orang yang tidak kuat kognisinya, akan dimotivasi untuk memecahkan masalahnya. Menganalisis pengkutuban ketiga strategi pendidikan moral di atas, maka kita sebagai orang tua yang interest pada pendidikan menganggap bahwa problem dan prosfek anak sesungguhuya tidak hanya terbatas pada aspek pengalaman hidup dan tahap perkembangan moralnya saja, melainkan juga pada aspek pertimbangan moralnya mengapa ia melakukan tindakan tertentu pada situasi tertentu. Memperhatikan pertimbangan anak mengapa ia melakukan suatu tindakan tertentu akan lebih memberi penjelasan kepada kita dibandingkan dengan memperhatikan tindakannya, atau mendengarkan pernyatannya. Sebagai manusia yang beriman, kita yakin bahva tanpa bantuan llahi mustahil kita mencapai pertimbangan moral yang hakiki.Dengan demikian dapat dikatakan bawa pendidikan moral akan berhasil dengan baik apabila berlandaskan pada prinsip-prinsip ajaran Allah Yang Maha :Pengasih dan Maha Pemberi Petunjuk.
C. Sinergi Pendidikan Sekolah dan Pendidikan Luar Sekolah
Upaya agar anak memiliki pertimbangan moral yang hakiki, yang memungkinkannya mencapai ketahanan moral, tidak dapat dicapai dalam waktu yang pendek yang bersifat sementara. Pencapaian memerlukan waktu yang panjang melalui penanaman keyakinan atas prinsip-prinsip ajaran agama, pembiasaan didalam kehidupan sehari-hari, bimbingan dan tuntunan serta arahan yang tidak kenal lelah atas segala problem dan prospek anak, petatah-petitih, dan keteladanan oleh orang-orang dewasa disekelilingnya disepanjang kehidupannya baik di sekolah maupun di luar sekolah. Hal ini diperlukan agar anak memiliki kematangan intelek atau intellectual Quotient (IQ), kematangan emosi atau emotional Quotient (EQ) dan kematangan spiritual atau spiritual quotient (SQ). Melalui kematangan IQ, EQ dan SQ diharapkan anak mampu membuat pertimbangan moral yang bernilai hakiki.
Kiprah dan peran institusi pendidikan sekolah sudah cukup jelas, yaitu sebagai lapangan strategis bagi penumbuhan dan pengembangan spiritual, moral dan mental, selain strategis bagi pelaksanaan transformasi pengetahuan dan keterampilan serta penumbuhan dan pengembangan kecerdasan. Sekolah hendaknya juga berperan sebagai pendidikan lanjutan dari pendidikan di dalam keluarga, sehingga pembimbingan terhadap anak dapat terus dikembangkan, terlebih apabila kualitas pendidikan di dalam keluarga kurang dapat diaktualisasikan. Jalinan kerjasama sekolah dengan orang tua anak seperti Dewan Sekolah juga perlu diteruskan, mengingat pentingnya kebersamaan didalam memfasilitasi keberhasilan pendidikan, khususnya berkaitan dengan kematangan spiritual atau Spiritual Quotient selain kecerdasannya atau Intellectual Qoutient. Sekolah hendaknya terus membuka diri dan mengembangkan tingkat pelayanannya terhadap masyarakat, demi pengabdiannya pada kehidupan bangsa, pewarisan nilai-nilai dan peradaban leluhur kepada generasi berikutnya, juga demi kelangsungan hidup dan kesejahteraan lembaga itu sendiri.
Pendidikan luar sekolah seperti pendidikan keluarga dan masyarakat berperan penting di dalam menanamkan nilai-nilai moral, juga didalam melatih pengendalian emosi atau Emotional Quotient. Di dalam keluarga orang tua hendaknya dapat membimbing anak melalui cerita, nyanyian, puisi, permainan, keterampilan. Orang tua hendaknya melakukan pendampingan, layanan konsultasi dan supervisi klinis terhadap anak, didalam menanamkan pengertian tentang hikmah dari peristiwa dan pengalaman hidup sehari-hari baik di dalam maupun di luar lingkungan rumah,dari buku bacaan, radio, televisi dan lain-lain. Terlebih-lebih pada anak balita, mengingat mereka masih belum dapat memahami kata-kata dan simbol yang abstrak. Secara bertahap orang tua hendaknya juga memberikan keteladanan dan menanamkan kebiasaan pada anak untuk menaati prinsip-prinsip ajaran agama, moral dan adat, seperti baik, benar dan lain-lain sehingga sifat-sifat baik itu secara bertahap dapat menjadi driving forces bagi terbentukuya akhlak yang baik. Orang tua hendaknya juga menjalin komunikasi yang baik dengan pihak sekolah untuk memantau segala hal berkaitan dengan anak secara intensif, juga untuk melakukan tindakan korektif secara lebih aktif dan proaktif, sehingga jika diperlukan upaya perbaikan dapat dilakukan secara lebih efektif; efisien, terpadu, berkala dan berkesinambungan.
Masyarakat merupakan lingkungan luar yang berpengaruh penting pada pertumbuhan dan perkembangan moral anak. Masyarakat merupakan tempat anak bekerja dan bermain bersama kaum kerabat, sahabat dan teman. Perkembangan IPTEK yang semakin pesat, menjadikan anak dengan mudah dapat mengakses berbagai informasi yang tersedia, baik melalui media cetak maupun elektronik dengan segala konsekuensinya baik positif maupun negatif.Tidak jarang pengaruh negatif muncul lebih kuat dan lebih lama dibandingkan dengan pengaruh pendidikan yang ditanamkan oleh orang tua dan sekolah akibat kemampuan media itu untuk menyajikan acara semenarik mungkin, yang kadang-kadang melupakan aspek edukatifnya demi memperoleh pemirsa sebanyak-banyaknya.
Atas dasar itu upaya untuk meningkatkan sinergi pendidikan sekoiah dan luar sekolah merupakan langkah yang tidak dapat ditunda. Melalui sinergi pendidikan sekolah dan luar sekolah, anak diharapkan tidak semata-mata hanya menguasai prinsip-prinsip agama secara verbal, melainkan juga mampu mempertahankan keunggulan moralnya termasuk di dalam membuat pertimbangan moral untuk setiap tindakan yang akan dilakukannya Melalui pertimbangan moral yang hakiki, diharapkan setiap anak memiliki keselarasan hubungan antara manusia dengan manusia serta antara manusia dengan Allah yang telah memberikan patokan-patokan hidup bermasyarakat di dunia dan untuk mempersiapkan diri hidup di akhirat. Ini berarti bahwa pendidikan hendaknya sesuai dengan fitrah manusia sebagai unsur ekologi yang pada kelanjutannya merupakan unsur dari sistim makrokosmos ciptaan Allah yang mempunyai hukum-hukumnya sendiri.
Suatu hal yang tidak dapat diabaikan adalah peran pemerintah.Aktualisasi pendidikan untuk pembinaan ketahanan moral anak memerlukan komitmen kebijaksanaan yang teguh guna menegakan hukum (law enforscement) dan peraturan perundangan, kebijaksanaan dan petunjuk yang mengatur langkah operasional sinergi pendidikan sekolah dan pendidikan luar sekolah. Sistem dan perundangan yang kondusif untuk mengatur bantuan sarana dan prasarana pendukung perlu ditegakan. Kesadaran dari setiap interest bidang pendidikan dalam membina ketahanan moral anak perlu terus ditumbuhkan dan dikembangkan. Penegakan advokasi ini merupakan hal yang tidak dapat ditunda, mengingat pembinaan moral anak terkait erat dengan realitas hidup anak yakni persoalan susila didalam kehidupan keseharian anak yang sangat berpengaruh pada banyak dimensi kehidupan termasuk masa depan anak. Las but not least adalah terjalinnya komunikasi intensif antara orang tua, sekolah, masyarakat lingkungan, pemerintah dan lembaga-lembaga serta pihak-pihak lain yang terkait
D. Kesimpulan
Jika prinsip pendidikan seperti di atas dilaksanakan, maka pada hakekatnya pembinaan ketahanan moral generasi bangsa sudah dilaksanakan. Mengapa disebut demikian ? Sebagaimana dikemukakan di atas, ketahanan moral diharapkan tidak hanya bersifat defensif melainkan juga generatif. Ketahanan moral harus juga dapat menumbahkan kekuatan hakiki yang muncul dari keyakinan, sehingga anak dapat meneruskan eksistensi ketahanan susilanya dan secara bertahap dapat berkembang menjadi generasi harapan bangsa. Ketahanan moral anak diharapkan memiliki daya penetrasi yang mampu menjangkau masa depan, sambil mengisi masa kini sebagai persiapan untuk menyongsong masa datang yang lebih baik. Hal ini dapat dicapai melalui pendidikan yang berlandaskan pada prinsip-prinsip pendidikan di atas.
E.Daftar Pustaka
Haryono, Chepy, Segi-segi Pendidikan Moral, Djembatan, Jakarta, 1998
Haydan, Graham, Teaching About Values, A New Approach, Cassel Wellington House, London, 1977.
Kaswardi, EM., Pendidikan Nilai Memasuki Tahun 2000, Rasindo, Jakarta, 1995
Purwa Hadiwardoyo, Moral dan Masalahnya, Yogya, Kanisius, 1990.
Redi Panuju, Etika Bisnis, PT gramedia, Jakarta, 1995.
Sumantri, Endang, H. Dr. M.Ed., (1994), Harmoni Budaya Hidup Berpancasila dalam Masyarakat Yang Religius " Satu Analisis Fenomenologis, Bandung, IKIP.
Suseno, Franz Magnis, Javanesse Ethics and World View, Gramedia, Jakarta, 1981.
Catatan:
Drs. Bachrum R. adalah Dosen Universitas Negeri Jakarta.
Dra. Durotul Yatimah M.Pd adalah Dosen Universitas Pendidikan Indonesia Bandung dan Kandidat Ujian Promosi Doktor PPS UPI Bandung
© Copyright 2024, All Rights Reserved