Besarnya utang luar negeri pihak swasta yang ditarik tanpa skema lindung nilai (hedging) mempengaruhi pelemahan nilai tukar rupiah terhadap dolar Amerika Serikat. Untuk meminimalkan risiko, pelaku usaha harus menerapkan hedging pada setiap transaksi bisnis dan pembiayaan yang menggunakan valuta asing.
Demikian disampaikan Gubernur Bank Indonesia (BI) Agus Martowardjojo, Jumat (06/03), menanggapi tekanan terhadap nilai tukar yang kini mendekati nilai psikologis Rp13.000 per US$.
"Kalau mereka bayar kewajiban, mereka minta dolar dan menciptakan tekanan pada permintaan dolar dan akhirnya tidak stabil," kata Agus.
Agus mengingatkan, pelaku usaha yang mengandalkan impor dalam operasional bisnisnya agar tidak melakukan spekulasi di tengah gejolak kurs. Ia menambahkan, hedging menjadi penting guna memitigasi risiko yang sewaktu-waktu dapat muncul akibat fluktuasi mata uang. "Harusnya pengusaha mencari manfaat dari usahanya, jangan mencari manfaat dari risiko," ujar Agus.
Agus menyebut, BI telah mengeluarkan peraturan terkait kewajiban lindung nilai tehadap utang valas swasta. "Itu harus ditaati karena untuk membuat sehat perusahaan yang melakukan pinjaman," katanya.
Sekedar catatan, jumlah utang luar negeri Indonesia pada 2014 meningkat US$26,5 miliar atau 9,9 persen dari posisi akhir 2013 sebesar US$266,1 miliar. Peningkatan tersebut dipengaruhi oleh kenaikan pinjaman luar negeri oleh sektor publik sebesar 5 persen maupun sektor swasta 14,2 persen secara year on year.
BI mencatat, utang luar negeri sektor publik sebesar US$129,7 miliar atau 44,3 persen dari total utang tersebut. Sementara utang luar negeri yang diambil sektor swasta US$162,8 miliar sekitar 55,7 persen dari total utang.
© Copyright 2024, All Rights Reserved