Usulan yang dilontarkan Wakil Presiden (Wapres) Jusuf Kalla tentang pengurangan jam kerja bagi pegawai negeri sipil (PNS) perempuan, menimbulkan pro dan kontra. Kalangan aktivis perempuan keberatan dengan wacana itu. Bahkan, Menteri Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak Yohana Susana Yembise pun tidak setuju waktu kerja perempuan dikurangi 2 jam seperti ide JK itu.
Yohana berpandangan, wacana pengurangan jam kerja PNS perempuan bisa melemahkan upaya pemberdayaan gender. Kebijakan itu tidak sesuai dengan upaya untuk mendorong perempuan agar setara dengan laki-laki.
“Alasan yang dikemukan Wapres agar perempuan punya waktu lebih banyak untuk mendidik anak di rumah. Tapi sebenarnya urusan mendidik anak itu menjadi urusan ibu dan ayah. Cara pandang seseorang terhadap perempuan setelah menikah harus di rumah dan di dapur itu perlu dirubah," ujar dia kepada politikindonesia.com usai Konferensi Pers Perayaan Hari Ibu ke-86 tahun 2014 di Jakarta, Senin (08/12).
Guru Besar Universitas Cendrewasih Jayapura ini mengatakan, pihaknya tidak pernah dilibatkan saat pembahasan wacana pengurangan jam kerja bagi perempuan. Padahal, kementeriannya memiliki tanggung jawab terhadap segala sesuatu yang berkaitan dengan perempuan dan anak.
“Mengapa dibuatnya peraturan seperti itu tidak melibatkan saya? Itu merupakan tanggungjawab saya. Kalau jam kerja saja dikurangi, bagaimana perempuan bisa diberdayakan? Apalagi, usulan ini sudah disetujui Menteri Pemberdayaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi Yuddy Chrisnandi, tanpa meminta pertimbangan dari saya," ujar dia.
Kepada Elva Setyaningrum, perempuan kelahiran Manokwari, Papua Barat, 1 Oktober 1958 ini memaparkan pandangannya tentang pemberdayaan perempuan dan anak di Indonesia. Berikut hasil wawancaranya.
Wapres mengusulkan pengurangan 2 jam waktu kerja PNS perempuan, apa pendapat anda?
Menurut saya kebijakan itu kurang tepat. Berkurangnya jam kerja PNS perempuan akan mempersempit ruang kerja perempuan untuk mengejar jenjang karir. Saya menilai kebijakaan seperti itu akan menimbulkan diskriminasif gender, terutama bagi kalangan perempuan PNS dan swasta. Misalnya, kalau untuk PNS perempuan dibuat kebijakan seperti itu, nanti pekerja perempuan swasta juga akan menuntut hal serupa karena mereka juga dibayar setiap jam. Kalau sampai 3 jam sudah pulang, gajinya bisa dipotong.
Sebenarnya, saya tidak bisa mengatakan setuju atau tidak dengan usulan tersebut. Tapi, peran kementerian ini memang untuk menjaga kesetaraan gender. Semua yang dilakukan laki-laki juga bisa dilakukan oleh perempuan.
Apa sebenarnya makna kesetaraan gender itu?
Perempuan dan laki-laki memiliki posisi yang sama dan setara. Sebenarnya laki-laki juga memiliki tanggung jawab sama untuk mengurus keluarga. Kesetaraan inilah yang akan menciptakan keluarga berkualitas. Masalah tanggung jawab kepada anak-anak, itu berlaku pada suami dan istri. Jangan sepenuhnya diberikan ke istri. Itu baru namanya setara.
Tetapi rencana pengurangan jam kerja perempuan itu dilontarkan oleh Wapres?
Saya meminta publik agar tidak terlalu cepat mengklaim usulan kebijakan pengurangan 2 jam kerja sebagai kebijakan yang memojokkan kaum hawa yang berkeluarga. Saya sudah bertemu dengan Pak JK. Beliau juga katakan itu baru wacana dan jika direalisasikan pun banyak tahap yang harus didalami.
Saat ini publik sudah termakan dengan wacana yang menganggap itu sudah menjadi kebijakan ini. Usulan itu masih dikaji apakah menguntungkan atau malah merugikan kaum hawa. Jika usulan nanti jadi kebijakan, jangan sampai menjadi alat diskriminasi bagi perempuan.
Bagaimana ada melihat persoalan perempuan dan anak di Indonesia saat ini?
Perempuan dan anak adalah hal yang luar biasa. Hingga saat ini masih banyak masalah terkait perempuan dan anak. Tak bisa dipungkiri, di sekitar kita masih banyak suara perempuan menangis yang tak berani mengadukan masalahnya.
Sebagian besar mereka bermasalah karena latar belakang budaya. Begitu juga dengan anak-anak. Di zaman seperti ini mash saja ada anak-anak yang mengalami putus sekolah dan broken home, dan korban kekerasan. Itulah yang menyebabkan saya tertantang untuk mengangkat harkat dan martabat perempuan dan anak.
Bagaimana kondisi kesetaraan gender di Papua?
Di daerah timur, khususnya Papua, perempuan masih terbebani oleh budaya yang masih kuat. Ada adat istiadat yang mengikat mereka. Saya berasal dari timur, jadi ini merupakan pengalaman pribadi saya.
Apalagi di Papua untuk perempuan yang akan menikah, calon suaminya harus membayar mas kawin kepada pihak keluarga perempuan. Mas kawin itu cukup besar dan mahal. Kalau sudah membayar mas kawin, calon suami merasa sudah membeli perempuan itu. Sehingga perempuan tak memiliki hak untuk berbicara. Maka, suami pun mempunyai power yang sangat besar untuk mengatur istrinya. Pokoknya istri harus tuduk kepada suami. Apapun yang diminta suami harus dituruti.
Sebagai perempuan Papua, bagaimana Anda mengatasi hal itu?
Saya selalu berusaha menengahi masalah dengan kompromi. Tapi saya bertekad kuat dan memegang keras prinsip untuk keluar dari adat istiadat yang mengekang itu.
Saya harus menunjukkan dan membuktikan bahwa saya perempuan yang ingin maju dan tidak mau terkekang oleh sisi budaya dan adat. Hingga akhirnya saya pun dianggap salah satu perempuan Papua yang berhasil mempertahankan prinsip saya untuk menjadi perempuan yang maju dan berkembang.
Walaupun, banyak sekali perasaan yang harus saya korbankan. Karena jujur saya katakan, hati ini kadang harus melawan tugas utama saya sebagai istri dan mengurus keluarga.
© Copyright 2024, All Rights Reserved