Hasil Panitia khusus (Pansus) Angket Bank Century DPR tak layak dipakai. Pasalnya, mereka bekerja dengan data yang meragukan. Indonesia Auditor Watch (IAW) terang-terangan menyatakan validitas data Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) tentang Bank Century, patut diragukan.
Artinya, dengan data yang tidak valid, hasil Pansus Angket Century DPR pun patut diragukan. Karena, tim yang dipimpin politisi Partai Golkar, Idrus Marham itu mengandalkan penyelidikannya dari data BPK, yang meragukan itu.
IAW tak sedang menyebarkan kabar bohong. Buktinya, seperti disampaikan Sekretaris IAW, Iskandar Sitorus, kepada pers, di Jakarta, Senin malam (01/03), pihaknya sudah melaporkan ketidakcermatan itu ke polisi. Selasa, 22 Desember 2009, IAW melaporkan tim audit BPK ke Mabes Polri, karena menilai hasil Audit Investigasi BPK pada Bank Century, tidak jelas. Sebab, sifat audit yang digunakan BPK adalah audit dengan tujuan tertentu, bukan investigatif.
Langkah IAW membawa kasus itu ke polisi tentu tidak sederhana. Iskandar Sitorus dan kawan-kawan pasti memiliki ?nyawa cadangan? kalau berani bermain-main dengan institusi negara. Apalagi, sampai menuding hasil kerja mereka tak layak jadi acuan. IAW pasti menyadari betapa besar resikonya jika asal lapor, tanpa bukti jelas, terutama karena yang dilaporkan hasil kerja sebuah lembaga negara, dengan kewenangan besar di bidang audit anggaran.
Bayangkan, IAW melaporkan Tim Audit BPK, yang menangani Bank Century, dengan dugaan penyalahgunaan wewenang, memberikan keterangan palsu dan melampaui wewenang. Pasal aduan 421 KUHP juntho 242 juntho 36 ayat 2.
IAW berani, tentu saja setelah Lembaga Kajian Hasil Audit Keuangan itu melakukan kajian pembanding terhadap hasil audit yang menjadi dasar proses hukum Bank Century. Dari hasil audit bank bermasalah itu, Iskandar Cs menyimpulkan hasil kerja tim auditor pemerintah itu, mengambang, dan tak jelas. Lihat saja, dari judul laporan jelas tertera, apa yang mereka kerjakan merupakan audit investigasi. Namun, di dalamnya terdapat hasil audit dengan tujuan tertentu, yang juga tak jelas.
Kalau bersifat investigatif, seharusnya disebutkan siapa yang dipersalahkan dalam persoalan itu. Itu saja tidak cukup. Karena, audit investigasi juga semestinya mencantumkan besaran hasil kerugian negara, bila memang ada. Tetapi, itu yang tidak dilakukan oleh Tim Audit BPK dalam kasus Bank Century.
Lalu, IAW juga benar. Jika BPK menjalankan audit dengan tujuan tertentu, seharusnya ada komunikasi langsung antara pemeriksa dan yang terperiksa. Sejumlah pihak yang disebut-sebut terlibat dalam kasus itu, ternyata tak pernah dimintai konfirmasi soal kasus tersebut. Dalam kajiannya terhadap hasil audit BPK itu, IAW tak menemukan bagian yang menyebutkan adanya suara terperiksa.
Dengan semangat itulah, hasil audit BPK tersebut tidak bisa jadi landasan untuk memproses perkara Century secara hukum. Karena itulah, sejauh ini pihak Polri, dan Kejaksaan, serta Komisi Pemberantasan Korupsi, tak berani menjadikan laporan tersebut sebagai alat bukti.
Artinya, hasil akhir Pansus Century akan sia-sia. Karena, alat bukti yang digarap oleh pansus tidak valid. Bahkan, IAW menganggap kasus ini tidak bisa masuk ke ranah hukum. Apa yang diputuskan oleh Pansus tidak bisa disidik pihak penegak hukum dan kerja pansus tidak ada gunanya.
Berdasarkan kajian IAW, dikaitkan dengan tata cara audit yang benar terhadap enam hasil temuan BPK terkait kasus Bank Century, diduga tidak valid. Karena itu, sejak awal IAW berkeyakinan audit temuan BPK terkait Century, tidak akurat, sehingga tak layak menjadi pegangan.
Jadi, tak ada salahnya mencari second opinion, melalui audit pembanding oleh auditor publik independen. Karena, dalam konteks ini, hasil audit BPK meragukan, dan karenanya patut diuji pihak lain. Melalui auditor pembanding, diharapkan bisa ditelisik secara benar dan proposional. Setidaknya, seperti telah dilakukan IAW, dengan memberikan evaluasi dan kajian teknis terhadap temuan hasil pemeriksaan BPK atau sebagai audit tandingan.
Repotnya lagi, Pansus Century DPR tidak membedah terlebih dahulu audit BPK secara utuh. Pansus DPR yang beranggotakan 30 anggota Dewan, tak menyentuh substansi audit ini. Tidak berlebihan kalau IAW berani mengatakan, Pansus Century DPR hanya menghabiskan energi untuk memanggil berbagai pihak, sebelum memberikan kesimpulan akhir.
Keraguan IAW terhadap hasil audit BPK juga mencuat karena tak adanya Tim Kode Etik BPK, yang bertugas ?mengaudit? kalau ada keberatan dari pihak luar. Sayangnya, ketika melaporkan masalah tersebut ke BPK untuk diperiksa Tim Kode Etik, responnya tidak ada. Rupanya, karena tim tersebut belum terbentuk di lembaga yang kini dipimpin Hadi Poernomo itu.
Padahal, mengacu pada UU BPK 2006, tim kode etik tersebut harus sudah dibentuk enam bulan setelah UU berlaku. Seperti, di kepolisian ada Kompolnas, DPR ada Dewan Kehoramatan, mestinya BPK juga sudah memiliki Tim Kode Etik, yang akan memproses keberatan pihak lain, atau kalau terjadi pelanggaran dalam proses kerja mereka.
Ke depan, sudah waktunya pihak DPR lebih berhati-hati dalam mengambil langkah-langkah politik, terutama dalam penggunaan Hak Angket. Semuanya, harus dipikirkan dengan matang, berangkat dari data valid, agar hasilnya bisa menjadi pegangan. Setelah itu, tujuan akhir menyejahterakan rakyat akan tercapai, secara berkeadilan.
© Copyright 2024, All Rights Reserved