Kementerian Pertanian (Kementan) terus memperbaharui peta ketahanan dan kerentanan pangan (Food Security and Vulnerability Atlas/ FSVA). Peta tersebut digunakan oleh pemerintah dan organisasi terkait sebagai dasar perencanaan baru dalam penentuan kebijakan dan target intervensi terkait dengan ketahanan pangan dan gizi.
“Hingga saat ini peta ketahanan dan kerentanan pangan yang ada merupakan hasil pemetaan 2015. Perbaharuan peta ini akan kembali dilakukan pada 2018," kata Kepala Badan Ketahan Pangan Kementan, Agung Hendardi kepada politikindonesia.com usai penandatanganan Project Document (Prodoc) dengan World Food Programe (WFP), di Kantor Kementan, Jakarta, Selasa (28/11).
Menurutnya, pemutahiran peta FSVA dilakukan melalui penyempurnaan metodologi dan peningkatan kerjasama dengan Badan Pusat Statistik (BPS). Penyempurnaan yang dilakukan termasuk integrasi indikator ketahanan pangan yang diambil dari Survei Sosial Ekonomi Nasional (SUSENAS, disusun oleh BPS). SUSENAS tersebut menggambarkan pola konsumsi pangan tingkat rumah tangga dan memberikan fokus yang lebih besar pada kerentanan terhadap kerawanan pangan di wilayah perkotaan.
"Pembaharuan data juga dilakukan melalui Pengembangan Sistem Informasi Ketahanan Pangan dan Gizi Nasional (SIKPG) yang terpadu, melalui penyempurnaan sistem yang sudah ada dan sesuai dengan Peraturan Pemerintah Nomor 17 Tahun 2015 tentang Ketahanan Pangan dan Gizi. Karena SIKPG dapat digunakan untuk perencanaan, pemantauan dan evaluasi, stabilisasi pasokan dan harga pangan. Selain itu juga sebagai Sistem peringatan dini terhadap masalah pangan dan kerentanan terhadap kerawanan pangan dan gizi," bebernya.
Diterangkan, dengan pembaharuan kedua instrumen tersebut, pihaknya berharap penanganan kerentanan rawanan pangan bisa dilakukan lebih baik lagi. Sehingga tidak ada lagi daerah rentan rawan pangan di Indonesia. Sebab, dari data FSVA 2015 dari 398 kabupaten, sebanyak 58 kabupaten masuk dalam daftar merah atau kategori rentan rawan pangan. Mayoritas daerah rentan rawan pangan berada di timur Indonesia.
"Sedangkan, sisanya merupakan kabupaten dengan kondisi pangan baik tersebar di Sumatra, Jawa, Kalimantan, Nusa Tenggara Barat (NTB) dan Sulawesi. Bahkan, kami juga sudah memetakan daerah yang rentan pangan. Kami akan membuat daerah tersebut mampu menyediakan dan produksi pangannya sendiri melalui program yang akan diaplikasikan," ucapnya.
Untuk mengatasi kerentanan pangan, lanjut Agung, pihaknya juga memiliki beberapa program yang akan diimplementasikan ke depannya untuk mengatasi kerentanan pangan. Di antaranya program kawasan rumah pangan lestari (KRPL), desa mandiri pangan dan pengembangan kelompok tani. Karena pada tahun 2016 terdapat 2.300 rumah pangan lestari dan 18 provinsi untuk desa mandiri pangan.
"Hingga saat ini ada sekitar sepertiga dari rumah tangga di Indonesia yang belum mendapat akses pangan sehat akan didorong memproduksi pangan terutama pangan sehat bernutrisi salah satunya melalui KRPL. Kami menargetkan pada 2018 dapat melakukan intervensi di 100 kabupaten dan 1.000 desa melalui KRPL dan dan desa mandiri pangan," ungkapnya.
Dia mengatakan, dengan adanya pangan di lingkungan sekitar, maka masyarakat mudah mendapatkan pangan yang sehat tanpa kesulitan akses distribusi. Sehingga mudah didapat, serta memberikan pemahaman tentang pola makan yang sehat, bergizi dan berimbang.
"Kami juga akan tetap terus menggalakan diversifikasi, agar masyarat dapat memakan makanan yang beragam. Setiap daerah bisa mengembangkan potensi pangannya yang sehat, tidak harus makan nasi (beras). Seperti di Indonesia makanan pokoknya adalah sagu. Jadi kami akan tetap membiarkan mereka mengkonsumsi itu sebagai makanan sehari-hari," ujar
Sementara itu, World Food Programe (WFP) Representative and Country Director for Indonesia, Anthea Webb menambahkan saat ini ketersediaan pangan sudah tidak menjadi suatu masalah lagi bagi Indonesia. Justru yang menjadi pertanyaan, apakah masyarakat memiliki akses pada pangan, khususnya pangan sehat yang harganya relatif mahal?
"Karena hingga saat ini hanya 2/3 rumah tangga Indonesia yang mendapatkan makanan yang sehat dan bergizi. Sisanya, yakni sepertiga dari rumah tangga tersebut tidak mendapatkan pangan sehat karena pilihan. Maksudnya, mereka mau mengeluarkan uang untuk membeli pangan sehat tersebut atau tidak," katanya.
Diakuinya, harga pangan di Indonesia cukup mahal terutama pangan sehat. Walaupun, ketersediaan pangan sudah ada, tapi karena akses terhadap pangan masih sulit sehingga harga menjadi tinggi. WFP yang sudah ada di Indonesia sejak 1963 melihat Indonesia mengalami perkembangan cukup masif untuk ketahanan pangan. Terutama dalam hal ketersediaan pangan untuk semua orang.
"Kini, dengan dilengkapi data yang akurat, kami dan BKP berupaya mengatasi bagaimana pangan tersebut dapat diakses oleh semua masyarakat. Termasuk di dalamnya isu stunting. Terbukti, dalam kurun waktu 5 tahun terakhir ada perkembangan signifikan dalam ketersediaan pangan nasional, bahkan hampir merata. Sekitar 2/3 dari total kabupaten di Indonesia kondisi pangannya lebih baik dari 5 tahun lalu," ujarnya.
Perkembangan menggembirakan tersebut menurut Anthea, berkat kerja keras yang dilakukan petani Indonesia. Pihaknya sangat berterima kasih dengan kerja keras petani Indonesia dalam memenuhi kebutuhan pangan nasional. Begitu juga dengan BKP Kementan yang selalu memberi pembinaan dan pendampingan petani.
"Padahal Indonesia tidak pernah lepas dari bencana alam yang sangat berdampak pada keluarga petani. Namun, para petaninya tetap mau bekerja keras untuk memenuhi kebutuhan pangan Indonesia. Kami sangat bangga dan berterima kasih kepada petani Indonesia yang tak pernah putus asa," pungkasnya.
© Copyright 2024, All Rights Reserved