Cyber jihad terus berkembang di pelbagai negara, termasuk di Indonesia. Polri kini mengawasi perkembangan penggunaan Internet sebagai medium penyebaran ajaran radikal. Namun, kepolisian membutuhkan regulasi khusus untuk menangkal aktivitas virtual yang menjurus ke tindak pidana terorisme.
Demikian disampaikan Kapolri Jenderal Tito Karnavian kepada pers di Hotel Dharmawangsa, Jakarta, Rabu (21/12) malam. "Dunia maya di Indonesia memang memprihatinkan sehingga perlu ada regulasi yang kuat dan teknik lain di luar hukum," ujar Tito.
Dikatakan Kapolri, sejumlah orang yang ditangkap Detasemen Khusus 88 Antiteror dalam beberapa waktu terakhir, terpicu melakukan teror karena pengaruh informasi yang mereka dapatkan dari Internet.
Tito menyebut Muhammad Nur Solihin, terduga teroris yang diciduk polisi di Bekasi, Jawa Barat, sebagai salah satu contoh. Ia menjadi radikal akibat aktivitas internet. "Kelompok teror melakukan rekrutmen dan pelatihan tidak lagi secara fisik tapi online. Dalam kasus Solihin, semua itu online, bagaimana membuat bom panci," tutur Tito.
Dikatakan Kapolri, menanggulangi kegiatan kelompok teror di dunia maya, Polri telah membentuk pasukan khusus yang disebutnya dengan istilah Cyber Army. Tim tersebut bertugas melakukan pengintaian dan serangan siber.
Tito mengatakan, pasukan siber tersebut menggunakan metode pengintaian yang nyaris serupa dengan personel intelijen reguler. Penyamaran yang merupakan prosedur klasik intelijen diterapkan di dunia maya.
"Teknik Cyber Patrol, ada undercover atau penyamaran, seolah-olah menjadi bagian dari kelompok teror, menggunakan beberapa akun media sosial untuk ikut chatting dan masuk ke komunitas mereka," terang Tito.
Dikatakan Kapolri, pasukan siber tersebut setiap hari bekerja dengan membaca situs berisi konten radikal, melacak ruang percakapan dunia maya (chat room) dan menginfiltrasi kelompok itu.
© Copyright 2024, All Rights Reserved