Nama sejumlah artis mencuat jelang Pilkada 2024. Ada Ahmad Dhani, Raffi Ahmad, juga Marcel Widianto yang mulai muncul ke permukaan.
Para artis ini menambah deret artis yang sudah lebih dulu terjun menjadi politisi. Pemilu 2024 lalu para artis bertaburan nyaris di seluruh partai. Cara ini sudah lebih dulu dilakukan pleh Partai Amanat Nasional, yang belakangan bahkan disebut sebagai Partai Artis Nasional, karena banyaknya artis yang bergabung dan menjadi caleg dari partai tersebut.
Adalah hak asasi para artis untuk menjadi politisi, bahkan menjadi pimpinan daerah. Tapi pertanyaan yang muncul adalah, apakah partai tak lagi memiliki kader terbaik yang mumpuni dan layak diajukan menjadi kepala daerah? Atau memang partai cenderung semakin pragmatis dan memilih cara yang mudah untuk membuat roda partai terus bergerak dan bertahan.
Endah Lismartini dari politikindonesia.id mewawancarai Pengamat Politik Prof Siti Zuhro, dosen ilmu politik yang juga peneliti dari LIPI, soal munculnya fenomena artis di Pilkada 2024.
Berikut wawancara dengan Siti Zuhro:
Setelah Pileg berlalu, sekarang muncul artis-artis yang membidik Pilkada untuk menjadi kepala daerah. Bagaimana menurut Anda?
Kemunculan artis-artis dalam Pileg dan Pilkada itu sebetulnya membuktikan satu hal. Bahwa politik itu di Indonesia adalah nomor 1. Pemilu dan Pilkada itu menunjukkan kehidupan yang sangat politis di negeri ini. Karena sekarang setiap hari bicara politik. Sudah tak jelas lagi kapan Pemilu dimulai dan kapan diakhiri. Pembicaraan di seluruh masyarakat, bahkan di kedai-kedai kopi sudah menunjukkan itu, bahwa politk dan politisasi itu semakin marak.
Dan sekarang, politik legislatif 2024 menunjukkan semakin bertambahnya artis yang jadi caleg. Hampir di semua partai ada, dan PAN adalah partai yang paling mendominasi. Lalu sekarang akan masuk Pilkada, dan mulai bermunculan, belum banyak, tapi sudah muncul artis-artis yang akan diusung partai. Mungkin belum banyak, tapi sudah muncul.
Ini menunjukkan fenomena apa?
Artinya Pemilu atau Pilkada ini lebih ditopang oleh hasil survei. Padahal survei lebih berlandaskan pada populeritas dan elektabilitas. Sekarang bertambah lagi ‘isi tas.’ Survei hanya melihat itu. Padahal kita saat ini membutuhkan sosok pemimpin daerah yang mampu melakukan akselaratif dan inovatif.
Lalu apakah mereka yang dipilih berdasarkan populeritas dan elektabilitas bisa melakukan itu? Tidak ada korelasi yang positif antara syarat yang disampaikan lembaga survei dengan kemampuan untuk melakukan kepemimpinan yang inovatif dan akseleratif itu.
Jadi jika berharap kita akan menyongsong dan mewujudkan Indonesia Emas di 2045 harusnya kita tidak terjebak pada isu populeritas dan vote buying. Dan seharusnya ini adalah tugas parpol untuk mengembalikan orientasi yang salah dari masyarakat.
Masyarakat memang masih cenderung memilih sosok yang populer, tapi partai punya kesempatan untuk memberikan edukasi pada masyarakat untuk menentukan sosok yang mampu mendukung perubahan Indonesia, bukan hanya di level daerah, tapi juga level nasional.
Tapi jika partai juga ikut tergiring dan lebih mengutamakan sosok yang populer untuk menang Pilkada, dan isu ini sampai ke ranah publik, ini akan jadi bahaya sekali. Kalau soal calon yang populer hanya jadi isu internal partai tidak masalah. Tapi kalau sampai ke publik, itu yang jadi bahaya.
Tapi partai hari ini cenderung pragmatis dan memilih yang mudah saja untuk partainya. Bagaimana menurut Anda?
Cara potong kompas ini memang tidak menguras banyak energi. Berbeda dengan pembinaan internal partai, yang seharusnya menjadi kewajiban partai. Proses kaderisasi, bagaimana membina dan membentuk kader yang bagus dan mampu memimpin, memperkenalkan kepada publik, dan kemudian memberikan kader terbaik pada masyarakat itu bukan proses yang mudah dan instan. Butuh waktu, energi dan tenaga yang besar untuk melakukan itu. Melakukan proses merit sistem dalam partai itu tidak bisa memakan waktu yang singkat dan cepat.
Karena itu cara ini tak semua partai mau melakukannya. Akhirnya uang-uang lagi yang disebar. Padahal ini adalah hal yang wajib diakhiri di 2024. Kalau ini tidak segera diakhiri, maka mimpi tentang Indonesia Emas di 2045 mendatang hanya omong kosong saja. Tidak akan mungkin terwujud jika partai terus melakukan cara ini.
Apa yang membuat partai memilih cara instan ini?
Karena cara potong kompas ini jelas lebih mudah. Merit sistem itu cara yang bagus dan layak menjadi cara yang dilembagakan, tapi itu sangat melelahkan. Tapi seharusnya peran itu ada di partai agar bisa menghasilkan pemimpin-pemimpin terbaik yang seperti saya bilang tadi, bisa memiliki inovasi dan melakukan percepatan atau akselerasi pembangunan.
Proses yang lama, rekruitmen kader yang rigid, memberikan hak otonom pada kader untuk membuktikan kemampuan terbaiknya, dan melakukan konvensi di internal partai untuk memberikan kader terbaik partai kepada publik, harusnya itu yang dilakukan partai. Tapi cara itu kan dianggap riweuh.
Nah kalau sekarang pengulangan-pengulan ini dilakukan juga oleh partai yang lain dan intensif, artinya ini bukan lagi permainan partai. Tapi sudah by desain. Partai enggak mau susah dan enggak mau menghabiskan waktu yang lama.
Jika ini sudah terjadi, harusnya peran ini dimainkan oleh media dan civil society.
Tapi bukankah pilihan partai yang mengulang dukungan pada calon yang populer bisa dianggap sebagai cerminan publik hari ini, karena pilihan ada di tangan publik?
Refleksi yang terjadi, adalah partai mempelajari. Dan ternyata yang dibutuhkan masyarakat cukup populeritas. Partai berkepentingan memenangkan partainya. Dan kemenangan itu bisa didapat melalui populeritas tanpa susah-susah, maka itulah yang dipilih partai.
Tapi ini sebenarnya berbahaya untuk NKRI. Bagaimana kita bisa merawat kedaulatan ini dengan seksama jika kita membiarkan negara ini dijalankan oleh orang-orang yang tak memiliki kapasitas. Dari level desa sampai level presiden harusnya dipimpin oleh orang yang mumpuni. Harus dikelola oleh ahlinya. Jika ini diserahkan bukan pada ahlinya, ya tinggal tunggu kehancurannya. Bisa terjadi kerusakan yang berbahaya di negara ini.
Jadi jika kita masih punya obsesi dan harapan untuk Indonesia emas. Ini adalah landasan yang harus dibangun dengan serius. Kita harus mulai membangun kelembagaan kita. Jika itu tidak segera dilakukan, maka mimpi Indonesia Emas di 2045 hanya jadi mimpi siang bolong saja. []
© Copyright 2024, All Rights Reserved