Bank Indonesia (BI) menegaskan tidak akan mengikuti langkah. Tiongkok dan Vietnam melakukan devaluasi mata uangnya terhadap dolar Amerika Serikat (AS). Kedua negara itu mendevaluasi mata uangnya agar barang ekspornya lebih kompetitif lantaran harganya akan menjadi lebih murah.
"Indonesia tidak perlu mengikuti langkah Tiongkok atau Vietnam, karena nilai tukar rupiah sudah melemah mengikuti tren pelemahan global," kata Direktur Eksekutif Departemen Komunikasi Bank Indonesia Tirta Segara kepada pers, Jakarta, Rabu (19/08) malam.
Dijelaskan Tirta, keputusan Vietnam melakukan devaluasi mata uang dong merupakan reaksi susulan setelah Tiongkok terlebih dahulu melakukan devaluasi yuan. Vietnam tak mau produk-produk ekspornya kalah bersaing dengan produk Tiongkok yang harganya jauh lebih murah.
Tirta menambahkan, salah satu alasan sebuah negara mendevaluasi mata uangnya adalah untuk menjaga daya saing produk ekspornya. Misalnya Tiongkok karena yuan dinilai terlalu kuat sehingga harga barang ekspornya mahal, maka Tiongkok mendevaluasi yuan.
“Dengan kurs atau nilai tukar yuan yang lebih rendah, maka harga produk ekspor China menjadi lebih murah sehingga memiliki daya saing lebih tinggi. Hal itu juga dilakukan oleh Vietnam," kata Tirta.
Tirta mengatakan, dampak devaluasi yuan dan dong relatif kecil terhadap pergerakan nilai tukar rupiah. Meski begitu, BI mengakui bahwa neraca perdagangan bisa saja terpengaruh karena barang dari Tiongkok dan Vietnam yang murah bisa masuk dan membanjiri pasar Indonesia.
"Dampak terhadap neraca perdagangan secara tidak langsung ada, karena sebagian komoditas export kita juga mirip dgn ekspor Tiongkok atau Vietnam. Ya barang dari Tiongkok jadi relatif lebih murah. Jadinya ada potensi bahwa Tiongkok dan Vietnam bisa ekspor lebih banyak dan lebih bersaing dengan barang kita (di dalam negeri)," jelas Tirta.
© Copyright 2024, All Rights Reserved