Dasar keputusan Menteri Hukum dan HAM Yasonna H. Laoly dalam memberikan status warga negara Indonesia (WNI) kepada Arcandra Tahar dipertanyakan. Sebab, dalam keputusannya, Yasonna tak mengacu kepada Pasal 20 dan Pasal 31 Undang-undang Nomor 12 Tahun 2006 tentang Kewarganegaraan. Keputusan ini bsia menimbulkan dampak jangka panjang, dan menjadi preseden buruk bagi Pemerintah dalam memberikan status WNI.
Pendapat itu disampaikan Guru Besar Hukum Internasional Hikmahanto Juwana kepada pers, Kamis (08/09). "Saya sih bilang karena enggak ada dasarnya, ya enggak sah," ujar Hikmahanto.
Dasar pemberian status WNI kepada Arcandra tidak mengacu pada Pasal 20 dan Pasal 31 Undang-undang Nomor 12 Tahun 2006 tentang Kewarganegaraan. Kendati demikian, surat keputusan terkait status WNI Arcandra telah dikeluarkan oleh Menteri Hukum dan HAM Yasonna H. Laoly. Dengan begitu, status WNI kini kembali melekat kepada mantan menteri ESDM itu.
"Jadi surat keputusan itu basisnya, dasarnya tidak saya temukan dalam pasal-pasal di UU Kewarganegaraan," kata Hikmahanto
Hikmahanto mengatakan, status WNI ini bisa saja gagal bila ada yang menggugat surat keputusan tersebut. "Kalau misalnya toh enggak ada yang mempermasalahkan, ya mungkin sah saja," ujar dia.
Hanya saja, Hikmahanto menyesalkan hal ini. Sebab, Pemerintah telah menciptakan preseden buruk dalam memberikan status kewarganegaraan. Ia menyarakan, keputusan ini dipikirkan secara matang mengingat ini akan berlaku jangka panjang. Sehingga, Pemerintah ke depannya tidak mudah memberikan status kewarganegaraan.
Pada Pasal 20 berbunyi, "Orang asing yang telah berjasa kepada negara Republik Indonesia atau dengan alasan kepentingan negara dapat diberi Kewarganegaraan Republik Indonesia oleh Presiden setelah memperoleh pertimbangan Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia, kecuali dengan pemberian kewarganegaraan tersebut mengakibatkan yang bersangkutan berkewarganegaraan ganda."
Sedangkan, Pasal 31 berbunyi, "Seseorang yang kehilangan Kewarganegaraan Republik Indonesia dapat memperoleh kembali kewarganegaraannya melalui prosedur pewarganegaraan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9 sampai dengan Pasal 18 dan Pasal 22."
Syarat pemberian status WNI jika mengacu pada Pasal 31 yakni telah berusia 18 tahun atau sudah kawin, pada waktu mengajukan permohonan sudah bertempat tinggal di Indonesia paling singkat lima tahun berturut-turut atau paling singkat 10 tahun tidak berturut-turut, sehat jasmani dan rohani, dapat berbahasa Indonesia serta mengakui dasar negara Pancasila dan Undang-undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.
Kemudian, tidak pernah dijatuhi pidana karena melakukan tindak pidana yang diancam dengan pidana penjara satu tahun atau lebih, jika memperoleh kewarganegaraan Indonesia, tidak menjadi berkewarganegaraan ganda, mempunyai pekerjaan dan/atau berpenghasilan tetap, dan membayar uang pewarganegaraan ke kas negara.
"Nah, kalau saya lihat dari surat keputusan Menkumham, itu enggak merujuk pada 2 pasal ini. Jadi pertanyaannya, dasarnya apa?" ujar dia.
Yasonna sebelumnya mengaku memutuskan pemberian status WNI tersebut lantaran Arcandra dalam posisi statelees. Hal ini disebabkan Arcandra telah kehilangan kewarganegaraan Indonesia setelah mendapatkan kewarganegaraan Amerika Serikat. Di sisi lain, mantan Menteri ESDM itu juga telah melepaskan kewarganegaraan Amerika Serikat.
Akan tetapi, Hikmahanto menilai statelees tak bisa dijadikan dasar memberikan kewarganegaraan buat Arcandra. Pasalnya, statelees merujuk kepada pasal perkawinan campuran, yakni perkawinan warga negara asing dengan WNI. "Nah, ini tidak tepat kalau misalnya digunakan untuk pak Arcandra," pendapatnya.
Hikmahanto mengatakan, preseden buruk terhadap kebijakan ini, Pemerintah kini harus memberikan kemudahan yang sama kepada WNI yang sudah mengangkat sumpah untuk Negara Islam Irak dan Suriah (ISIS), jika mereka kembali ke Tanah Air.
Hikmahanto juga tak ingin keputusan ini malah akan membuat Pemerintah sembarangan memberikan status WNI kepada orang yang berstatus statelees di Indonesia. Padahal, orang itu bukan WNI dan tak memiliki keterkaitan dengan Indonesia.
Seperti, orang-orang etnis Rohingya yang terdampar di Indonesia. Mereka juga kini mengalami statelees, setelah ditolak negara asalnya yakni Myanmar. "Jadi jangan sampai karena kepentingan tertentu, kemudian Menkumham memaksakan sesuatu yang tidak ada dasar berdasarkan Undang-undang,” tandas Hikmahanto.
© Copyright 2024, All Rights Reserved