Di belahan dunia, menjelang masuk ke Tahun Kuda, RRC dan Taiwan sudah berancang-ancang untuk melaksakan fungsi dan peran serta kewajiban mereka sebagai anggota WTO.Tentu banyak hal-hal yang menarik, baik dari aspek sosial,ekonomi,ataupun politik yang akan terjadi dengan gebrakan “dua cina” ini dalam menentukan arah pendulum kehidupan politik ekonomi dunia, utamanya di kawasan Asia. Bagaimana dengan Indonesia?
Khusus bagi negara-negara di Asia Tenggara, pengaruhnya tentu akan sangat dirasakan.Sebab pada kawasan ini, aliran darah biru warga negaranya cukup kental bermuara ke RRC dan Taiwan.Fungsi dan peran warga negara keturunan RRC dalam kehidupan perekonomian cukup besar.Sebut saja Singapura, Malaysia misalnya.
Warga non-pribumi, begitu stigma yang dilekatkan oleh pemerintah Indonesia terhadap warga negara keturunan Cina.Sementara untuk warga negara keturunan lainnya, seperti Arab,India, pemerintah Indonesia tidak memasukkannya dalam kelompok non-pribumi.Tindakan diskriminatif tampaknya memang dilekatkan hanya untuk warga keturunan Cina.Tidak untuk yang lainnya.
Sebenarnya, bila warga Pri ingin jernih dan jujur serta tidak munafik, dalam hal berdagang kalangan Pri lebih percaya dengan warga non-pri.Begitu juga pejabat-pejabat pemerintah.salah satu yang menjadi dasar pertimbangan adalah komitmen kerahasian bertransaksi, lebih aman dengan warga non-pri dibanding warga Pribumi.
Untuk mengupas peran dan fungsi yang dilakukan warga non-pri dalam bidang politik dan ekonomi tidak sesederhana membaca sebuah sajak.Perjalanan peran warga non-pri dalam geliat perekonomian nasional cukup panjang.Bahkan bisa ditelusuri sejak jejak Republik ini berdiri. Namun, apa yang dialami anak negeri yang disingkirkan ini? Cukup memprihatinkan.Sehingga tidak pernah ingin diselesaikan secara tuntas tentang eksistensi mereka sebagai warga negara.
Memang, politik pembauran yang dijalankan selama ini--- agar terjadi asimilasi total--- sehingga kelompok non-pri ini tidak ada lagi, masih belum berhasil.Bila tak ingin disebut gagal. Dalam bentangan sejarah, karena penampilan eklusifismenya, warga non-pri telah berkali-kali dijadikan kambing hitam oleh warga pribumi.
Nah, kondisi diskriminatif yang masih terjadi itu, oleh Presiden B.J.Habibie sedikit demi sedikit mulai ditanggalkan.Melalui Instruksi Presiden (Inpres) No 26 Th 1998, tanggal16 September 1998 Habibie memerintahkan:Satu, penghentian penggunakan istilah pribumi, dan nonpribumi dalam semua perumusan dan penyelengaraan kebijaksanaan atau pelaksanaan kegiatan penyelenggaraan pemerintahan. Dua, memberikan perlakuan dan layanan yang sama bagi seluruh WNI, tanpa perlakukan berbeda atas dasar suku, agama, ras maupun asal-usul. Tiga, meninjau kembali dan menyesuaikan seluruh peraturan perundang-perundangan, kebijaksanaan, program, dan kegiatan yang selama ini telah ditetapkan dan dilaksanakan, termasuk dalam pemberian layanan perizinan usaha, kesempatan kerja, dan penentuan gaji atau penghasilan dan hak-hak pekerjaan lain.
Sayangnya, Inpres nomor 26 ini masih mandul, karena Keputusan Presiden Soeharto, yang antara lain berupa pelarangan sekolah dan penerbitan berbahasa Cina; Keputusan Presidium Kabinet No 127/U/Krp/12/1968 mengenai Penggantian Nama. Keputusan Presiden No 240/1967 mengenai kebijakan pokok yang menyangkut WNI keturunan asing; serta Instruksi Presidium Kabinet No 37/U/IN/6/1967 tentang kebijaksanaan pokok penyelesaian masalah Cina, hingga kini belum dicabut.Baru Instruksi Presiden No 14 Tahun 1967 tentang Pembatasan Agama, Kepercayaan dan Adat Cina yang sudah dicabut oleh Presiden Abdurrahman Wahid melalui Kepres No 6/2000.
Di era Pemerintahan Megawati Soekarnoputri, semangat yang samapun masih ada. Dan ini bisa terlihat pada RUU Kewarganegaraan untuk menggantikan UU Nomor 62/1958.Sayangnya, semangat diskriminatif itu masih melekat dalam rancangan ini.Jika tidak ingin dikatakan setengah hati.
Yang juga cukup memprihatinkan, stereotip suku bangsa lain terhadap suku bangsa Tionghoa pada umumnya, hingga hari ini memang dilekatkan kepada hal-hal yang buruk saja. Misalnya melekatkan mereka sebagai koruptor BLBI atau “perampok” semacam Eddy Tanzil.Bila dilihat secara jernih,tentu ini adalah salah kaprah karena watak kedua orang tersebut tidak bisa dijadikan bukti tentang adanya watak warga non-pri secara keseluruhan. Stereotip yang demikian ini semakin memarginalkan suku bangsa Tionghoa.Apalagi, orang-orang semacam Eddy Tanzil, dalam juga banyak dimiliki oleh warga pribumi.Sama saja kan.
Suka atau tidak suka.Senang atau tidak senang, realitas politik yang ada, memang tetap menempatkan adanya pembatasan-pembatasan ruang gerak dan lapangan kerja untuk suku non-pri. Dampak atas semua itu adalah terjadilah polarisasi dalam masyarakat --golongan pribumi (pri) dan nonpribumi (nonpri). Golongan pri biasanya memusatkan kegiatannya pada sektor pertanian, pedagang eceran, pegawai negeri, TNI/Polri, dan kegiatan-kegiatan nonekonomi lainnya. Sementara aktifitas kerja nonpri terpusat pada perekonomian dan perdagangan. Kaum pribumi diberi porsi besar dalam kegiatan ekonomi, pada satu titik tertentu mereka juga akan berperan dalam bidang politik.Sementara kaum non-pri dipersilahkan menyingkir dari arena ini.
Kondisi politik yang demikian ini menggiring kepada terbentuknya stagnasi komunikasi dan interaksi yang rutin di luar bidang perekoniman. Kalaupun interaksi ada, itu terbatas pada hubungan penjual dan pembeli di pasar atau antara pemilik uang dan peminjam uang. Akhirnya, prasangka dan sikap stereotipe sangat mendominasi interaksi antara kedua suku bangsa ini. Dan sebagai puncak dari stagnasi komunikasi dan interaksi tadi, bisa dilihat pada peristiwa 13 Mei 1998 yang menjadi peristiwa paling gelap dalam hubungan pri-nonpri.
Peristiwa itu merupakan suatu tragedi nasional dan sekaligus mencoreng muka bangsa kita di mata dunia.
Bila kemudian, perkembangan warga non-pri mampu menjadi lebih unggul dalam bidang perekonomian dan perdagangan saat ini dibanding warga pri, sebenarnya merupakan sesuatu yang bisa dilihat secara wajar.Sebab, sistem politik yang diterapkan pemerintah, memang sangat memungkin untuk itu.Hal serupa juga berlaku bagi warga pri, bila mereka lebih unggul dibidang pemerintahan,TNI dan Polri, dibanding dengan warga non-pri.
Pertanyaannya kemudian adalah, dengan realitas yang seperti itu kenapa warga pri (pemerintah) masih ingin mempersalahkan warga non-pri?Sebab, semua yang terjadi dan menjadi realitas saat ini merupakan buah dari investasi kebijakan pemerintah yang menciptakan diskriminasi.
Maka dari itu, bila warga non-pri memegang kendali disebagian besar sektor perekonomian, sudah sepantasnya diberi apresiasi yang setimpal dalam bidang yang lain.Begitu juga sebaliknya terhadap warga pri.
Kedepan, guna meretas batas-batas demarkasi sentimen primordialisme, sepantasnya pemerintah melakukan pembumihangusan terhadap stigma-stigma yang dilekatkan pada warga non-pri dan pri, karena terbukti memang tak mampu untuk menyelesaikan problematika yang ada.Di negeri tercinta Indonesia ini, tak perlu ada warga yang dianak emaskan.Apalagi, nasionalisme warga bukan diukur dari warna kulitnya, tetapi dari integritas pengabdiannya terhadap bangsa dan negara.
Bila polarisasi ini tidak segera dihapuskan oleh pemerintah dan warga pri, bisa dipastikan, di era WTO mendatang, Indonesia akan lebih banyak lagi menuai problema kebangsaan yang akan bermuara kepada hancurnya moralitas bangsa.Dan itu akan semakin menggiring bangsa Indonesia kedalam jurang kehancuran.Kita tunggu saja.
© Copyright 2024, All Rights Reserved