Kementerian Pertanian (Kementan) dalam beberapa kesempatan menyatakan bahwa produksi jagung nasional mengalami surplus. Atas alasan itu, Kementan melarang impor jagung. Namun yang terjadi, harga jagung untuk pakan mengalami lonjakan tajam dari Rp2000 per kg menjadi Rp7000 per kg. Pengusaha dan peternak pun menjerit, karena jagung langka dan harga meroket di pasaran.
Kisruh harga jagung ini, mendapat perhatian serius dari Komisi IV DPR. Pada Selasa (02/02), Komisi IV DPR RI menggelar Rapat Dengar Pendapat (RDP) dengan Kementan dan sejumlah asosiasi peternakan, pelaku usaha pakan ternak dan Perum Bulog untuk membicarakan duduk persoalan seputar jagung ini.
Dalam RDP itu, keakuratan data produksi, kebutuhan jagung hingga sebaran wilayah produksi jagung jadi polemik yang paling disoroti. Pasalnya, data yang dimiliki Kementan dinilai tidak akurat. Kebijakan berbasis data yang tidak akurat inilah yang menyebahkan kekisruhan, dimana harga jagung melambung tinggi dan berdampak pada pasokan pakan ternak.
“Kenapa kondisi ini bisa terjadi? Padahal Kementan sudah yakin jagung tahun ini akan mengalami surplus, tapi kenyataan yang terjadi justru sebaliknya. Kini harga jagung sangat tinggi dari sebelumnya hanya Rp2 ribu per kg dan saat ini menjadi Rp7 ribu per kg. Hal ini membuat peternak dan pengusaha pakan menjerit," ujar Ketua Komisi IV DPR, Edhy Prabowo kepada politikindonesia.com.
DPR mempertanyakan keakuratan data milik Kementan terkait produksi jagung nasional. Jika memang benar produksi jagung yang dilaporkan mencapai 20 juta ton, sedangkan, kebutuhan pabrik pakan ternak hanya sekitar 7 juta ton tentu tidak akan terjadi kelangkaan.
"Yang menjadi pertanyaan kami, pada kemana jagung itu dan mengapa sekarang harganya bisa mahal. Padahal sisanya masih banyak? Ketidak akuratan data itulah yang diduga sebagai penyebab mahalnya harga jagung saat ini," ujarnya.
Pandangan senada disampaikan Wakil Ketua Komisi IV, Viva Yoga,. Ia menyebut masalah impor pangan, khususnya komoditas jagung yang terjadi saat ini karena adanya kesalahan dari kebijakan yang diambil Kementan. Kementan seharusnya lebih berhati-hati dalam memberikan pernyataan ke publik. Jangan membuat kebijakan yang menimbulkan polemik.
"Ada sesuatu yang salah dari kebijakan soal jagung ini. Kalau beras ada Harga Pembelian Pemerintah (HPP). Sedangkan untuk jagung hingga saat ini belum ada dan harganya langsung diserahkan ke pasar. Ke depannya, harus dibuatkan HPP jagung untuk memastikan pengendalian pasokan dan harga jagung," ungkapnya.
Ditambahkan anggota Komisi IV DPR, Daniel Johan, hilir dari polemik jagung impor yang tak kunjung diuraikan adalah pada keraguan data yang dipakai Kementan. Selama ini kebijakan yang diputuskan berbasarkan data yang keliru, akan salah kaprah. Ujung-ujungnya, rakyat yang menjadi korban.
"Kalau datanya kacau balau dan berantakan secara otomatis perencanaan jadi kacau juga. Kementan mengaku data yang didapat dari BPS, padahal data tersebut diragukan hasilnya. Sebenarnya data di lapangan itu, bagaimana?," paparnya.
Daniel menyebut, selama ini Kementan selalu mengklaim produksi jagung sebanyak 22,8 juta ton. Sementara, kebutuhan jagung nasional sebesar 21,4 juta ton. Artinya ada surplus sekitar 400 ribu ton.
"Belajar dari kasus ini, Kementan harus bisa memikirkan cara untuk mendapatkan data yang benar dan akurat. Sehingga rakyat tak lagi menjadi korbannya. Seharusnya dengan data jagung yang surplus itu tak ada lagi alasan buat impor," tuturnya.
Selain data jagung, lanjutnya, data yang keliru lainnya adalah data beras. Padahal produksi beras nasional mencapai 10 juta ton. Namun. Dalam Rakortas (Rapat Koordinasi Terbatas) diputuskan impor sebanyak 1,5 juta ton.
© Copyright 2024, All Rights Reserved