NASIB buruh di Tanah Air, agaknya belum mendapat kepastian. Padahal ketika melakukan aksi demo pada 1 Mei (May Day), para buruh se-Jabodetabek sempat mendapat angin segar. Pasalnya, di pelataran halaman Gedung DPR, Senayan, Jakarta, Ketua Komisi IX Ribka Tjiptaning, kepada para buruh dijanjikan bahwa DPR akan menolak rencana revisi UU Ketenagakerjaan yang akan diajukan pemerintah.
Kenyataannya, hal ini justru dibantah oleh Ketua DPR Agung Laksono (Rabu, 3/5). Pimpinan legislatif yang juga pengusaha dan Wakil Ketua Partai Golkar itu mengatakan, DPR belum secara resmi menyatakan penolakannya atas rencana pemerintah untuk merevisi UU Nomor 13/2003 tentang Ketenagakerjaan. Apa yang diteriakan Ribka Cs, yang antara lain membidangi masalah tenaga kerja sudah membuat pernyataan resmi untuk menolak revisi UU Nomor 13/2003, namun hal itu belum bisa diartikan sebagai kenyataan bahwa DPR menolak revisi UU tersebut.
Yang lebih mengecewakan para buruh lagi, ternyata sikap pemerintah juga tak berubah. Dalam arti, pemerintah tetap akan tetap menjalankan skenario perubahan alias revisi jalan terus. Hal ini tercermin dari pernyataan Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi (Menakertrans) Erman Suparno, pada hari yang sama. Erman menegaskan pemerintah akan terus melanjutkan pembahasan revisi UU Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan.
Langkah pembahasan revisi UU Ketenagakerjaan ini seperti yang diamanatkan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono dan akan dimulai dari awal dengan menunggu masukan dari pihak independen, termasuk lima universitas yang ditunjuk pemerintah. Pembahasan ini pun akan dilakukan melalui forum tripartit, yang terdiri dari pemerintah, pengusaha, dan serikat pekerja (buruh).
Yang jadi persoalan kemudian, ada semacam ketidakpercayaan dikalangan buruh terhadap forum tersebut. Pasalnya, bagaimanapun suara serikat pekerja pasti akan kalah dengan ‘suara’ yang mewakili kepentingan pemerintah dan pengusaha. Seperti semua mafhum, persoalan KKN di negeri ini, yang biasa dimainkan antara pengusaha dan pejabat, belum kelar, kendati upaya supremasi hukum mulai digembar-gemborkan. Alhasil, kecurigaan semacam ini tetap menghantui para buruh, dan wajar saja.
Di lain sisi, pemerintah sendiri tengah dihadapi pada problem ekonomi. Yakni, pertumbuhan ekonomi yang melambat, akibat menurutnya minat investasi. Lalu untuk mendongkrak investasi, dilakukan upaya untuk mengenakan investor, namun tak enak bagi para buruh. Dimana jika revisi UU Ketenagakerjaan tetap diberlakukan, kesejahteraan para buruh kian memburuk. Karena dari sejumlah revisi yang ditawarkan, semuanya sama sekali tak berpihak pada kepentingan buruh. Hanya mementingkan kepentingan para pelaku dunia usaha.
Sikap pemerintah yang ngotot tetap akan melakukan revisi, pun bagi sejumlah pengamat ekonomi mengundang tanda tanya. Bukankah selama ini dunia usaha menjadi tak sehat karena adanya biaya-biaya siluman yang masih harus ditanggung pelaku usaha? Kenapa tidak ini saja yang difokuskan?
Sebaliknya pengamat politik lainnya, merasa yakin upaya itu dapat dilakukan. Masalahnya, selama ini ’upeti’ resmi dan tak resmi telah menjadi budaya yang sulit dihapuskan, karena pengusaha lebih suka bersinergi dengan cara ini demi kepentingan bisnisnya, dan ketimbang harus menghadapi kekuatan penuh risiko. Lalu risiko yang paling minimal adalah dengan meminimalkan kesejahteraan buruh.
Sebaliknya, seorang rekan wartawan menyadarkan. Bahwa, pemerintah selama ini bukan hanya sebagai regulator, tapi juga sebagai ’pemain’ di segala lini bisnis. Sayangnya, sebagai pemain, permainan yang ditampilkan begitu buruk. Sebagioan besar karena warisan pemerintah sebelum-sebelumnya, tak dikelola secara profesional, dan hanya sebagai sapi perah.
Alhasil, pemain dengan ”Badan Usaha Milik Negara (BUMN)” banyak yang merugi, dan terpaksa harus dilikuidasi, dilego, dimerger, atau direstrukturisasi. Nah, daripada menanggung beban semakin berat dan tanpa harus mengeluarkan biaya besar, maka revisi sebagai jurus pamungkas. Alih-alih demi kepentigan pengusaha, tapi sesungguhnya juga kepentingan penguasa. Kalau spekulasi ini benar, agaknya buruh masih harus mengelus dada, ”Duh Gusti, kenapa aku yang dikorbankan dan bukannya para siluman itu?”
© Copyright 2024, All Rights Reserved