Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-undang (Perppu) Nomor 1 Tahun 2016 tentang perubahan kedua Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak, telah diberlakukan. Salah satunya mengatur tentang tambahan hukuman, berupa kebiri kimia. Ikatan Dokter Indonesia (IDI) menolak dokter dilibatkan dalam proses eksekusi kebiri tersebut.
Sikap IDI tersebut disampaikan dalam jumpa pers di Kantor Pengurus IDI di Jakarta Pusat, Kamis (09/06). Dalam acara itu, Ketua Umum IDI Ilham Oetama Marsis membacakan sejumlah poin pernyataan sikap IDI.
Poin pertama, IDI mendukung sepenuhnya keputusan pemerintah untuk menerbitkan Perppu itu termasuk adanya hukuman tambahan di dalamnya. IDI setuju pelaku kekerasan seksual harus dihukum berat.
Namun pada poin kedua, IDI meminta agar dokter tidak dilibatkan sebagai eksekutor. Dalam Perppu disebutkan, eksekutor proses kebiri kimia adalah tim dokter. "Dengan adanya sanksi tambahan berupa kebiri kimia yang mengarahkan dokter sebagai eksekutor sanksi, IDI menyatakan agar dalam pelaksanannya tidak melibatkan dokter sebagai eksekutor," kata Ilham.
Dijelaskan Ilham, permintaan kepada pemerintah itu dilandaskan pada fatwa Majelis Kehormatan dan Etik Kedokteran (MKEK) nomo 1 Tahun 2016 tentang Kebiri Kimia yang juga didasarkan pada Sumpah Dokter serta Kode Etik Kedokteran Indonesia.
"Tugas dokter adalah menyembuhkan pasien bukan memberikan hukuman penderitaan bagi pasien. Seorang dokter dilarang melakukan tindakan-tindakan penyiksaan terhadap manusia, karena tindakan eksekusi ini bertentangan dengan Sumpah maupun kode etik serta disiplin kedokteran," jelas Ilham.
IDI menilai kebiri kimia tidak dapat menjamin berkurangnya hasrat seksual bagi pelaku kekerasan seksual. "Atas dasar keilmuan dan bukti-bukti ilmiah, kebiri kimia tidak menjamin hilang atau berkurangnya hasrat serta potensi-potensi perilaku kekerasan seksual pelaku. Oleh karena itu, IDI mengusulkan agar dicari bentuk hukuman lain sebagai sanksi tambahan," ujar Ilham.
© Copyright 2024, All Rights Reserved