Dibanding pada saat krisis ekonomi 1998 dan 2008, fundamental ekonomi Indonesia saat ini jauh lebih kuat. Karena itu, diyakini resilient atau daya tahan ekonomi Indonesia dalam menghadapi gejolak ekonomi global saat ini jauh lebih baik.
Namun, Indonesia perlu mewaspadai kemungkinan direalisasikannya pengurangan atau penghentian stimulus moneter (quantitative easing) tahap ke-III di Amerika Serikat (AS).
“Apabila The Fed (Bank Sentral) AS benar-benar merealisasikan penghentian stimulus moneter tahap ke-III, maka Indonesia perlu segera menghitung dan merumuskan kembali apakah obat-penawar atau paket-kebijakan yang dimiliki telah memadai,” kata Staf Khusus Presiden bidang Ekonomi dan Pembangunan Firmanzah, di Jakarta, Senin pagi (26/08).
Menurut Firmanzah, dampak pengurangan atau penghentian stimulus moneter di Amerika Serikat telah membuat goncangan tidak hanya di Asia-Pasifik. Seperti India, Australia, Indonesia, Singapura, Malaysia, Philipina, dan Thailand. Namun juga Amerika Latin. Seperti Brasil beberapa hari ini menggelontorkan US$60 miliar untuk menstabilkan nilai tukar mata uangnya dan pasar saham.
Firmanzah mengakui, beberapa pihak mulai mengkhawatirkan situasi yang dihadapi Indonesia saat ini berpotensi menciptakan situasi krisis seperti krisis ekonomi pada 1998. Beberapa kalangan juga mulai mempertanyakan daya tahan ekonomi Indonesia saat ini apakah sekuat ketika menghadapi krisis Subprime-Mortgage di Amerika Serikat pada 2008.
Menurut Firmanzah yang juga Guru Besar Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia itu, fundamental ekonomi Indonesia saat ini jauh lebih kuat apabila dibandingkan pada 1998 dan 2008. Meskipun begitu, kewaspadaan, kecepatan dan ketepatan dalam policy-respons perlu terus ditingkatkan.
“Ketika krisis ekonomi terjadi pada 1998, kita baru tersadar bahwa fundamental ekonomi nasional belum kuat benar untuk menopang gejolak eksternal. Padahal, dalam beberapa waktu sebelum krisis, ekonomi kita mampu tumbuh secara mengesankan. Misalnya, pada 1994 angka pertumbuhan ekonomi mencapai 7,54% dan bahkan pada 1995 mencapai 8,22%. Sementara itu, cadangan devisa Indonesia tertinggi pada 1996 mencapai US$19,125 miliar,” kata Firmanzah.
Namun, buruknya pengelolaan perbankan serta tidak terkendalinya penumpukan utang luar negeri swasta ditambah dengan posisi rupiah yang dianggap overvalued mengakibatkan kerentanan (vulnerabilitas) pada sistem keuangan pada saat itu.
“Sejumlah faktor non-ekonomi pada saat itu juga membuat krisis 1998 lebih dalam dan jauh lebih kompleks. Akibatnya krisis multidimensi dan tidak hanya terbatas pada krisis ekonomi saja,” kata Firmanzah.
Firmanzah menjelaskan, faktor non-ekonomi antara lain seperti sentralitas kekuasaan, belum berjalannya sistem dan budaya demokrasi secara lebih substansial, kebebasan pers dan media yang sangat terbatas, terbatasnya akses politik dan rendahnya partisipasi segenap eleman bangsa dalam pembangunan di berbagai bidang.
Akibatnya, krisis keuangan yang terjadi di sejumlah negara seperti Korea Selatan dan Thailand membuat goncangan hebat dalam sistem ekonomi, politik, tata-kelembagaan dan sosial di Indonesia pada tahun 1998.
Sementara pada saat krisis subprime mortgage 2008, kata Firmanzah, tekanan tidak hanya terjadi pada rupiah dan cadangan devisa, tetapi juga bagaimana kita mengelola tekanan inflasi pada saat itu.
“Cadangan devisa kita sampai akhir 2008 mengalami tekanan dan tercatat sebesar US$51,6 miliar. Sementara nilai tukar rupiah terhadap dollar AS pada 19 November 2008 ditutup pada posisi Rp12.190/dolar Amerika Serikat. Di era reformasi posisi ini merupakan tertinggi dan lebih tinggi bila dibandingkan pada penutupan 11 April 2001 sebesar Rp11.755/dollar AS.
Dampak krisis subprime mortgage telah mampu dilewati bersama dan ekonomi Indonesia mampu tumbuh sebesar 6,1% pada 2008.
Menurut Firmanzah, posisi fundamental ekonomi dan non-ekonomi Indonesia saat ini jauh lebih kuat bila dibandingkan pada 1998 dan 2008. Dari sisi ekonomi, cadangan devisa kita tercatat sebesar 92,67 miliar dollar AS, rasio utang terhadap PDB hanya dalam kisaran 24%, pertumbuhan ekonomi meskipun diperkirakan menurun namun tetap diproyeksikan diatas 5,9% pada 2013, dan investasi di sektor riil meningkat 30,3% pada semester I-2013 year on year.
© Copyright 2024, All Rights Reserved