Belakangan berkembang wacana agar gubernur dipilih oleh DPRD dan tidak lagi ada pemilihan gubernur oleh rakyat. Namun usulan itu dianggap sebagai sebuah kemunduran bagi demokrasi di Indonesia.
"Jika wacana ini direalisasikan, maka sebuah kemunduran bagi demokrasi. Apa pun ceritanya demokrasi itu ada pada rakyat. Rakyat yang berhak menentukan pemimpinnya," kata pengamat politik dan hukum Universitas Syiah Kuala (Unsyiah) Banda Aceh M. Jafar SH MHum di Banda Aceh, Sabtu (16/10).
Penyataan itu dikemukakannya menanggapi pernyataan Ketua DPR Marzuki Alie terkait dukungannya terhadap wacana gubernur tidak dipilih langsung oleh rakyat, melainkan oleh DPRD setempat.
M. Jafar mengatakan, pemilihan gubernur diatur UU Nomor 32 tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah dan UU Nomor 12 tahun 2008 tentang perubahan kedua atas UU Nomor 32 tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah. Khusus untuk Provinsi Aceh, kata dia, pemilihan gubernur dan wakil gubernur diatur berdasarkan Undang-Undang Nomor 11 tahun 2006 tentang Pemerintahan Aceh (UUPA).
"Apabila pemilihan gubernur dipilih oleh legislatif maka semua perundang-undangan yang mengatur tentang hal tersebut harus direvisi dan ini membutuhkan waktu," kata jafar.
Sebelumnya, Marzuki Ali mengemukakan alasan gubernur cukup dipilih oleh DPRD karena gubernur tidak memiliki wilayah. Selain itu gubernur merupakan perpanjangan tangan dari pemerintah pusat untuk mengoordinasi para kepala daerah sesuai dengan semangat PP Nomor 19 Tahun 2010.
Wacana itu terkait rencana Menteri Dalam Negeri Gamawan Fauzi merevisi Peraturan Pemerintah Nomor 19 Tahun 2010 tentang Tata cara pelaksanaan tugas dan wewenang serta kedudukan keuangan gubernur sebagai wakil pemerintah di wilayah provinsi.
Terkait alasan pemilihan gubernur tidak memiliki wilayah dan merupakan perpanjangan tangan pemerintah pusat, M. Jafar mengatakan, dalih tersebut tidak bisa dijadikan pedoman.
“Memang, gubernur maupun bupati/wali kota tidak memiliki wilayah. Kepala pemerintahan yang memiliki wilayah dan langsung berhadapan dengan masyarakat adalah kepala desa,” kata Jafar.
Jafar mengatakan, kalau sengketa ataupun kerusuhan saat pemilihan gubernur bukan berarti prosesnya dikembalikan seperti semula, yakni dipilih oleh anggota legislatif. Tapi, proses dan kualitas pemilihannya dievaluasi. Dimana letak kelemahan serta kesalahannya, sehingga hasil telaah ini bisa menjadi pedoman dalam penyusun regulasi pemilihan kepala daerah.
"Kalau ditanya kepada anggota legislatif soal pemilihan ini, tentu mereka tidak menolak memilih gubernur. Sebab, anggota legislatif memiliki kepentingan politis tersendiri," ungkap M. Jafar.
© Copyright 2024, All Rights Reserved