Perdana Menteri Australia John Howard, walaupun ditolak oleh Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) Republik Indonesia, akhirnya tetap mengunjungi Indonesia. Bisa dimaklumi, Australia dan PM Howard dinilai kerap mengintervensi urusan dalam negeri Indonesia. Namun, seakan melupakan dosa Australia, pemerintah justru bersemangat menerima kunjungan Howard. Boleh jadi, pemerintahan Megawati tergiur dengan bantuan yang ada atau punya target politik sendiri dibalik kunjungan ini.
Sejauh ini, hubungan Indonesia dan Australia memang diwarnai ketegangan politik. Bahkan bisa dikatakan, ada permusuhan yang menyelimuti hubungan kedua negara bertetangga itu. Di masyarakat Australia, ada ketakutan yang kerap disebut sebagai ‘bahaya dari utara’ dalam melihat perkembangan politik di Indonesia. Sementara pihak Indonesia menilai, Australia memainkan peran dalam pergolakan politik di tanah air. Terutama menyangkut masalah Timor Timur di masa lalu, dan konflik lokal di Papua, Maluku dan Aceh. Singkatnya, Australia dipandang sering mengintervensi persoalan dalam negeri Indonesia.
Ketegangan hubungan tetap terbawa hingga kini. Pekan lalu, pimpinan DPR secara tegas menolak kehadiran PM Australia John Howard di Jakarta. Alasannya, dalam suatu pertemuan pimpinan dewan dengan Dubes Australia terungkap bahwa NGO-NGO yang ada di Indonesia dibiayai oleh Australia termasuk NGO yang ada di Aceh.
“Sehingga dengan adanya itu, kami tidak simpati kepada Australia. Politik luar negeri kita bebas dan aktif, namun harus dihargai kita sebagai bangsa yang besar. Kami tidak menginginkan Australia campur tangan dalam urusan dalam negeri Indonesia. Pengalaman di Aceh, Timtim dan Papua menunjukkan hal itu,” jelas Wakil Ketua DPR Soetardjo Soerjogoeritno.
Alasan kedua, lanjut Soetardjo, pimpinan DPR mendapat informasi yang bisa dipercaya, bahwa Australia akan mendukung referendum di Papua yang akan diselenggarakan dalam Kongres Rakyat Papua pada Maret mendatang.
“Oleh karena itu, DPR dengan sangat menyesal tidak bisa menerima kehadiran John Howard,” tandasnya. Soetardjo juga menyesalkan, Menlu Hassan Wirajuda tidak sejak awal memberitahukan kunjungan John Howard tersebut. Padahal dalam raker dengan Komisi I, jelas-jelas para anggota DPR sudah menyatakan akan menolak kehadiran John Howard.
Di tengah suasana penolakan itu, Perdana Menteri Australia John Howard tetap mengadakan pembicaraan penting dengan Presiden Megawati dan beberapa menteri terkait, serta Ketua MPR Amien Rais yang tadinya menolak kehadiran Howard, di Jakarta, Rabu (6/02/2002).
Dalam kesempatan tersebut, John Howard membantah kecurigaan yang selama ini berkembang dan menegaskan dukungannya atas keutuhan Negara Kesatuan Republik Indonesia, termasuk pemberian status otonomi khusus kepada Nanggroe Aceh Darussalam dan Papua. “Australia sangat mendukung kesatuan dan persatuan RI," kata Howard di Istana Merdeka sesudah bertemu Presiden Megawati Soekarnoputri.
Pertemuan Howard dengan Presiden Megawati berlangsung tertutup. Mega ditemani Menko Polkam Susilo Bambang Yudhoyono, Menlu Hassan Wirajuda, Menperindag Rini M.S. Soewandi, dan Mendiknas Malik Fajar. Dalam kesempatan itu, Howard menyumbang dana bagi korban banjir sebesar Aus$ 1 juta (sekitar Rp 5,2 miliar).
Pertemuan kedua pimpinan negara itu antara lain membahas kerja sama menghadapi terorisme regional. Selain soal terorisme, pertemuan membahas masalah imigran gelap, kerjasama di bidang ekonomi, pertanian, teknologi, dan Timtim.
Tampaknya Howard memang berusaha keras untuk menghilangkan kesan buruk negerinya di mata orang Indonesia. Dalam kesempatan bertemu dengan Menko Polkam Susilo Bambang Yudohyono dan Menlu Hasan Wirayudha, Kamis (7/02/2002), Howard kembali membantah peran Australia dalam mendukung kemerdekaan Papua. Sebaliknya, seperti dituturkan Hasan Wirayudha, Australia menegaskan dukungan terhadap integritas Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI).
Menurut Hassan, dalam acara itu, dirinya bersama Menko Polkam sengaja menjelaskan kepada Howard alasan penolakan DPR menerima kunjungan PM Australia itu. Alasan tersebut, lanjut Hassan, karena ada kecurigaan yang luas di kalangan DPR dan masyarakat bahwa Australia berperan pada masa lalu di Timtim dan sekarang mungkin dalam hal kemerdekaan Papua.
“Tadi saat breakfast dengan Howard dan Menko Polkam, sengaja kita katakan ada apa di balik penolakan DPR, karena ini adalah satu hal yang harus diperhatikan bahwa memang ada pendapat yang luas tentang kecurigaan terhadap peran Australia di masa lalu,” papar Hassan.
Menlu menjelaskan, Howard sekali lagi menegaskan, bahwa kecurigaan itu tidak benar dan kembali menegaskan dukungannya pada integritas NKRI. Bahkan, tambah Hassan, secara pribadi pada saat konferensi Pacific Island Forum tahun lalu, Howard dalam pernyataannya langsung menyebut dukungannya terhadap integritas teritorial, juga terhadap penerapan otonomi khusus baik di Aceh maupun di Papua. Oleh karena itu, jelas pemerintah Australia mendukung keutuhan Republik Indonesia, sehingga tidak mungkin mereka membantu perjuangan kemerdekaan Papua seperti anggapan selama ini.
“Australia menghargai otonomi khusus sebagai bagian dari bentuk penyelesaian Aceh dan Papua. Oleh karena itu pada posisinya, jelas tidak ada apa yang mungkin disebut adanya kelompok-kelompok yang ingin membantu perjuangan Papua,” ungkap Hassan Wirajuda.
Memang, rasanya tidaklah mudah untuk menghilangkan kecurigaan dan kemarahan publik di Indonesia terhadap Australia maupun sebaliknya. Tapi yang juga aneh, Menlu Hasan Wirajuda begitu yakin dengan apa yang dikatakan Howard. Sementara apa yang menjadi sikap wakil rakyat dikesampingkan begitu saja. Kembali terjadi mis antara eksekutif dan legislatif. Lantas, bangsa ini harus bersikap mengikuti yang mana?
© Copyright 2024, All Rights Reserved