Rencana penerapan label halal kini menimbulkan pro dan kontra. Selain akan mengakibatkan ekonomi biaya tinggi dan menambah beban bagi rakyat, rencana menteri agama Said Agil Husin Almunawar itu pun berbau politisasi agama.
Selama ini, politisasi agama menjadi problem mendasar dalam kehidupan agama di Indonesia. Mulai dari institusionalisasi sehingga hak asasi pribadi pun tidak diindahkan. Itulah salah satu kemerosotan moralitas agama dalam kehidupan bangsa. Konflik horisontal juga merupakan panen dari politisasi agama. Untuk itu, upaya menggali kembali moralitas agama membutuhkan perbaikan mendasar dan meletakannya sebagai kemerdekaan individu.
Seperti diketahui, pertengahan Januari 2002, Menteri Agama Said Agil Husin Al-Munawar mengeluarkan Keputusan Menag Nomor 518 Tahun 2001 tentang Pedoman dan Tata Cara Pemeriksaan dan Penetapan Pangan Halal.
Intinya, setiap produk pangan harus dikenakan label halal agar bisa masuk ke pasar atau dikonsumsi masyarakat luas.Untuk setiap produk pangan (makanan) dengan kualitas
biasa dikenakan Rp 10 per label dan Rp 35 untuk kualitas baik.
Selain Kepmenag No 518 Tahun 2001, Menag juga mengeluarkan Kepmenag No 519 Tahun 2001 tentang Lembaga Pelaksana Pemeriksaan Pangan Halal, serta menunjuk Perusahaan Umum Percetakaan Uang Negara Republik Indonesia (Perum Peruri) mencetak label halal sesuai Kepmenag No 525 Tahun 2001.
Untuk sebuah produk permen, kalau berandai-andai,dalam sehari memproduksi 10.000 biji (bungkus) dengan kualitas biasa, maka pengusaha permen mengeluarkan Rp
100.000.
Dengan asumsi setiap produsen permen menghasilkan 2 jenis permen dengan kandungan dan jenis yang berbeda maka biaya yang dikeluarkan mencapai Rp 200.000. Jika dikalikan 100 produsen di Indonesia permen maka dalam sehari untuk semua produk permen diperoleh dana label halal sebesar Rp 20.000.000. Itu baru satu produk permen dengan kualitas biasa. Selain permen, masih banyak lagi jenis makanan dan minuman dengan ratusan ribu kemasan produksi dalam sehari.
Wajar jika Gabungan Pengusaha Makanan dan Minuman Seluruh Indonesia (Gapmmi) menyatakan keberatan untuk melaksanakan kebijakan itu. Selain masalah biaya yang memberatkan pengusaha yang akhirnya dibebankan pada konsumen, aturan tersebut sebenarnya menyimpang dari aturan yang lebih tinggi yakni UU No 7/1996, dimana dalam sebuah kemasan sudah dicantumkan pernyataan halal.
Menurut Thomas Darmawan, Direktur Eksekutif Gapmmi, sesuai dengan UU No 7/1996, selama ini para produsen makanan dan minuman telah mencantumkan label halal yang dikeluarkan oleh Majelis Ulama Indonesia (MUI).
Mukti Asikin, Sekjen Perkumpulan Untuk Peningkatan Usaha Kecil (PUPUK) juga menyatakan penolakan atas labelisasi tersebut. "Menteri Agama kurang memahami, pencetakan label halal yang nantinya harus dibeli pengusaha bisa berdampak buruk bagi dunia usaha. Biaya produksi akan meningkat padahal belum tentu semuanya laku. Kalau sudah begitu konsumen juga yang dirugikan karena harga barang pasti naik," paparnya pada bulan Januari lalu.
Zaim Saidi dari {Public Interest Research and Advocacy Center (PIRAC)} juga mempertanyakan kebijakan itu karena tidak jelasnya status dana label halal. "Kalau pajak jelas masuk kas negara. Tapi kalau label halal uangnya masuk ke mana? Ini sama saja membentuk birokrasi baru untuk mencari keuntungan," katanya.
Selain itu, penunjukan Peruri pun bisa menimbulkan preseden buruk bagi Depag karena sangat mungkin terjadi praktik KKN dalam proyek label halal tersebut. Soal penunjukkan Perum Peruri sebagai pelaksana percetakan label halal, pihak Depag melihat hanya perusahaan itu yang bisa menjamin keamanan pencetakan atau {security printing}. Namun demikian keputusan tersebut masih bisa dibahas lebih lanjut.
Rujukan lebih jauh juga dapat dilihat dalam PP No 69 Tahun 1999 Tentang Label dan Iklan Pangan yang dikeluarkan Presiden BJ Habibie saat itu (21 Juli 1999). Dalam PP itu, tidak ditemukan suatu klausul yang menjelaskan penetapan lebih rinci tentang label halal. Yang diharuskan adalah label pangan berisi nama produk; daftar bahan yang digunakan; berat bersih atau isi bersih; nama dan alamat pihak yang memproduksi atau memasukkan ke dalam wilayah Indonesia; tanggal, bulan, dan tahun kadaluarsa.
Dalam Pasal 11 PP tersebut, hanya dijelaskan bahwa setiap orang yang memproduksi atau memasukkan pangan yang dikemas ke dalam wilayah Indonesia untuk diperdagangkan wajib memeriksakan terlebih dahulu pangan tersebut pada lembaga pemeriksa yang telah diakreditasi sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku. Pemeriksaan sebagaimana dimaksud dilaksanakan berdasarkan pedoman dan tata cara yang ditetapkan oleh Menteri Agama dengan mempertimbangkan dan saran lembaga keagamaan yang memiliki kompetensi di bidang tersebut.
Menanggapi hal ini, Menag hanya menyayangkan adanya upaya politisasi terhadap rencana dibuatnya label halal dan tidak pernah menyinggung soal tumpang tindihnya aturan serta monopoli yang sedang digalakannya. Diungkapkan, rencana penerapan label halal masih memerlukan proses yang panjang dan masih perlu pembahasan lebih lanjut. "Nanti kita bicarakan. Kita nggak buru-buru, prosesnya masih panjang itu. Jangan dipolitisir. Tujuan saya menyelamatkan umat dari mengkonsumsi makanan yang tidak halal," tegasnya, katanya Kamis (7/2) lalu.
Tidak hanya produsen dan LSM yang menolak Kepmenag tersebut. Kalangan DPR, juga mengkhawatirkan rencana penerapan label halal yang menyebabkan ekonomi biaya tinggi dan dapat menambah beban masyarakat di saat daya belinya sedang anjlok.
Di samping itu, kalangan DPR juga menyoroti penunjukan Perum Peruri yang langsung dilakukan Menag sebagai sesuatu yang bersifat monopolis. Selain itu penunjukan institusi teknis yang akan mencetak dinilai tak berhubungan dengan tugas dan tanggung jawab Menag.
Protes atas pemberlakukan label halal pun meluas, persoalannya apakah kebijakan tersebut bisa dibatalkan oleh DPR. Bukankah kebijakan sebelumnya sudah mengatur hal yang sama? Label halal bisa saja diterima tetapi ketika harus diatur dengan kebijakan dan biaya tersendiri justru mengaburkan makna label halal itu sendiri. Apa yang dilakukan Menag adalah sebuah politisasi untuk kepentingan ekonomi dengan berlindung dibalik keamanan makanan/minuman bagi umat muslim.
Pertanyaan lebih jauh, kemana dan untuk apa dana yang diperoleh dengan label halal?. Apakah perolehan dana miliaran rupiah tersebut akan menjadi jaminan bagi konsumen?
© Copyright 2024, All Rights Reserved