Gejolak di Timor Leste hingga kini belum berakhir. Eksodus para pengungsi ke Indonesia yang merasa hidupnya tak nyaman, tetap berlangsung. Terlebih para tentara yang disingkirkan dan melakukan pemberontakan tetap mengancam akan melakukan aksinya jika pemerintah Timor Leste tak menarik kembali. Atas gejolak terhadap negara yanag masih muda itu, Pengamat Hukum dan Politik Universitas Mataram (Unram), H. Satriawan Sahak, menilai akan berdampak buruk bagi Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI).
"NKRI sebagai daerah perbatasan yang paling dekat dengan Timor Leste akan menjadi tempat pelarian pengungsi dari negara itu, sehingga selalu menjadi beban bagi masyarakat Indonesia," katanya kepada wartawan di Mataram (9/5). Dijelaskannya, semasa Timor Timur di bawah penjajahan kolonial Portugis, sebelum berintegrasi dengan NKRI tahun 1976, daerah perbatasan Indonesia - Timor Leste di daerah Motain, Turiskai maupun tempat lainnya sudah menanggung "beban".
Beban itu semakin bertambah saat terjadi pergolakan di Timor Timur pada Revolusi Bunga pada 1974. Kala itu, pergolakan yang terjadi menyebabkan ribuan masyarakat Timor Timur melarikan diri ke wilayah Indonesia, terutama di daerah perbatasan. Berikutnya, gejolak muncul pasca pengumuman jajak pendapat tahun 1999. Lagi-lagi wilayah Indonesia di ujung paling Timur Pulau Timor menjadi tempat penampungan pengungsi asal Timor Timur, yang nyata-nyata pengungsi tersebut juga terdapat warga Timor Leste.
Ribuan warga Timor Leste ikut mengungsi menyelamatkan diri ke daerah perbatasan di wilayah Indonesia, yang kemudian mereka dipulangkan ke daerah asalnya. "Meskipun secara resmi masyarakat Timor Leste telah memproklamirkan kemerdekaan, tetapi keberadaan masyarakat Timor Leste tetap menjadi beban bagi masyarakat Indonesia, khususnya masyarakat di daerah perbatasan," katanya.
Satriawan menilai, pernyataan Xanana Gusmao yang kini menjadi presiden pertama negara Timor Leste di awal kepulangannya ke Dili pasca pengumuman jajak pendapat bahwa "Rakyat Timor Timur bisa hidup tanpa Indonesia". Pernyataan Presiden Xanana tersebut dinilai sebagai suatu pernyataan yang emosional, karena terbukti bahwa Xanana datang ke Indonesia untuk "membujuk" pengusaha asal Indonesia berinvestasi di Timor Leste dan meminta Gubernur NTT tidak menutup daerah perbatasan.
Bahkan pernyataan tersebut sempat ditanggapi Presiden Abdurrahman Wahid dengan menyatakan bahwa Indonesia bisa hidup tanpa Timor Leste, tetapi Timor Leste tidak bisa hidup tanpa Indonesia. "Dan nyatanya hingga sekarang keberadaan negara yang baru merdeka dengan populasi penduduk sekitar 700.000 tersebut selalu menjadi beban bagi kita," katanya.
Satriawan mengingatkan agar petinggi pemerintah Indonesia lebih berhati-hati, karena bukan tidak mungkin muncul tuduhan sepihak bagi penyulut kerusuhan di Dili oleh mantan tentara yang dipecat tersebut didalangi elit politik asal Indonesia. "Posisi Indonesia dalam pergolakan yang terjadi dalam negeri Timor Leste sangat dilematis, pasti ada pihak yang mencoba mengkait-kaitkan kejadian itu dengan apa yang terjadi di masa-masa lalu, dan Indonesia selalu harus menanggung beban yang kurang menguntungkan," tambahnya.
© Copyright 2024, All Rights Reserved