Hari-hari belakangan ini Menko Perekonomian Dorodjatun Kuntjoro Jakti luar biasa sibuk. Sepulang dari Amerika Serikat dan Jepang, dalam waktu dekat akan melancong ke Eropa. Ada apa gerangan? Apalagi kalau bukan meyakinkan negara-negara kreditur Indonesia agar meluluskan permintaan penjadwaan kembali {(rescheduling)} utang luar negeri RI yang jatuh tempo 2003.
Sekadar diketahui, awal April 2002 mendatang, {Paris Club} III akan digelar. Pertemuan itu maha penting bagi nasib Indonesia. Bisa tidaknya utang RI di{rescheduling} tergantung dari keputusan para juragan RI yang tergabung dalam {Paris Club} tersebut.
Dalam APBN 2002, pemerintah RI mentargetkan utang luar negeri yang bisa dijadwalkan kembali pembayarannya sebesar Rp 27 trilyun atau setara dengan 3 milyar dollar AS. Maka bayangkan, betapa akan kelimpungan pemerintah kalau {Paris Club} tidak merestui permintaan rescheduling tersebut. Pasti stabilisasi anggaran akan sangat terganggu. Sejumlah kalangan meyakini, dalam {Paris Club} III kali ini, Indonesia bakal lolos.
Posisi Indonesia sudah relatif aman, bahkan jauh-jauh hari Dana Moneter Internasional (IMF) telah memberi sinyal kreditur akan menyetujui permintaan RI tersebut. Kenapa ? selain sudah ada keputusan perpanjangan kontrak dengan IMF hingga akhir 2003, relasi RI-IMF sudah kembali akur. Perlu dicatat, hubungan RI-IMF ini biasanya menjadi tolok ukur dari kreditur {Paris Club}. Tapi yang jadi soal, kenapa tiap tahun kita selalu meminta {rescheduling}?
Kenapa tidak ada terobosan radikal dalam {debt management} kita? Pengamat Indef Dradjat Wibowo misalnya mengusulkan agar pemerintah meminta penghapusan utang komersial RI, sebab tanpa itu pemerintah akan kesulitan mendapatkan ruang gerak dalam menjalankan program ekonominya. Selain itu pemerintah harus bisa mengupayakan fasilitas {debt for poverty swap} maupun {debt for nature swap} kepada negara-negara kreditur, sehingga beban pembayaran utang Indonesia agak terbantu. Solusi lain, masih kata Dradjat, adalah dengan membuat UU
Pengelolaan Utang yang didalamnya memuat ketentuan bahwa setiap tahunnya total pembayaran utang luar negeri yang harus dibayar pemerintah RI adalah hanya 10 persen dari total pendapatan negara. Saat ini beban pembayaran mencapai 24 persen dari total penerimaan. Konsekuensinya memang, lembaga-lembaga pemeringkat akan menurunkan rating utang RI, tetapi struktur anggaran akan sehat karena ruang gerak fiskal lebih besar.
Ekonom UI Muhammad Chatib Basri mempunyai usulan lain, mestinya pemerintah bisa mengusulkan skema multiyear alias pembayaran utang dalam jangka panjang hingga 30 tahun, tidak seperti sekarang yang tiap dua tahun jatuh tempo.
Kalau setiap dua tahun harus memikirkan utang yang jatuh tempo, pemerintah akan selalu dibebani bagaimana untuk membayar, bukan bagaimana program ekonomi bisa jalan. Melihat total utang kita hingga akhir Desember 2001 yang mencapai Rp 1.401 trilyun, Rp 742 trilyun diantaranya utang luar negeri, memang layak bagi kita untuk bertanya dari mana dan sampai kapan utang setumpuk itu dilunasi.
Tanpa solusi radikal, keinginan segera bebas dari lilitan utang bakal sulit terwujud. Ironisnya pemerintah tutup kuping dan menganggap angin lalu atas kehendak agar minta penghapusan utang. Dalihnya Indonesia bukan kategori negara miskin. Inilah Indonesia, sudah ngutang masih gengsi lagi.
© Copyright 2024, All Rights Reserved