Nampaknya tidak akan banyak orang yang akan meneriakan pemerintahan yang bersih di negri ini karena hampir bisa dipastikan kita belum bisa menemukan contoh diantara pemimpin kita yang mengklaim dirinya bersih dari praktek penyalahgunaan kekusaan. Bahkan bagi mereka yang sebelum menduduki posisi tertentu dalam pemerintahan terkenal vokal menentang pemerintahan yang korup, justru melakukan hal yang persis sama ketika ia mulai menjabat.
Ungkapan polos dan sederhana ini telah memancing reaksi hadirin yang memadati ruang teater besar Universitas Negri Jakarta tempat berlangsungnya acara Penganugerahan Gelar Doktor Honoris Causa kepada Ir. Siswono Yudo Husodo, mantan Mentri Transmigrasi dan Pemukiman Perambah Hutan 11 Juni 2003 hari ini. Tepuk tangan meledak memenuhi ruang raksasa itu.
Memukau para hadirin yang datang dari berbagai kalangan—tokoh partai, pengamat politik, pengusaha, akademisi dan wartawan, dengan orasi ilmiahnya” Etika, Moral, Keteladanan dan Kemajuan/Perubahan dalam Masyarakat Paternalisitik, promovendus dengan jeli mengedepankan pengamatannya terhadap cairnya nilai-nilai kemasyarakatan dimana kemerosotan moral dan etika menjadi totonan yang biasa bagi masyarakat luas.
Dalam istilah “ The fault sense of normalcy”, ukuran-ukuran kewajaran bergeser setiap kali kita menemui ukuran kewajaran baru. Sejenak masyarakat terperangah lalu menjadi biasa untuk kemudian menerimanya sebagai sebuah kewajaran. Fenomena inilah yang sedang terjadi ketika publik dengan lapang dada melihat truk-truk disetop untuk menyetor amplop, soal money politik dalam proses politik, korupsi dan penyimpangan berlangsung secara terbuka dan dianggap sebuah kewajaran.
Masih dalam perspektif nilai-nilai yang cair ini, cerdik semakin dekat dengan licik, jujur dekat dengan bodoh, rendah hati dinamai penakut. Dalam masyarakat tradisonal paternalisitik seperti Indonesia, sering terjadi bahwa tokoh-tokoh yang cerdas dan kritis sulit berkesempatan naik karena reference untuk naik mensyaratkan restu dari atas.
Dalam kacamata promovendus, semua bentuk kemerosotan ini berpotensi untuk menjadi entropi ( kekuatan didalam sistim yang dapat meng
hancurkan sistim itu sendiri) bangsa yang membayakan. Secara kasat mata, entropi ini dapat kita amati ketika orang bersenang-senang menikmati kemewahan ketika masih berhutang besar yang ditunjukkan antara lain luas dan mewahnya kantor pejabat, besarnya kebocoran uang negara serta hidup mewahnya orang-orang yang ngemplang hutangnya pada negara dengan jumlah yang sangat besar.
“ Karena itu tidak banyak masyarakat kita yang menganggap hutang negara sebagai beban pribadinya, yang karenanya ikut bertanggungjwab menyelesaikannya”, tandas Siswono.
Dalam keadaan seperti ini kita membutuhkan pemimpin dan sistem yang dapat meredam berbagai bentuk entropi bangsa. Sayangnya, tidak banyak para elit yang menyadari bahwa tindakan dan ucapannya memiliki dimensi pendidikan yang penting bagi masyarakat.
“ Masyarakat juga banyak mendengar ucapan para tokoh tentang hal yang baik-baik, yang sangat berbeda dengan perilaku tokoh bersangkutan. Oleh karena itu saya memadang bahwa seseorang baru berhak dengan lantang berbicara tentang Pemerintahan yang bersih, setelah yang bersangkutan pernah tidak korup ketika memiliki kekuasaan dan peluang untuk korup”, ujar promovendus.
Progressio in Harmonia
Sebagai seorang pengamat yang kritis, Ir Siswono Yudohuso yang telah menerima gelar Doktor Honoris Causa dari Universitas Negri Jakarta karena dinilai telah berhasil memberikan identitas kepada masyarakat kecil dan memberikan mereka kesempatan berpartispasi, berempati dengan mereka dan memampukan mereka mengaktualisasikan diri serta keberanian moralnya dan karya nyata berupa 115 buah karya ilmiah, mengingatkan setiap perubahan yang terajadi harus dapat dimanage.
Ia mencontohkan, Indonesia mengalami perubahan yang luar biasa cepatnya dalam kurun waktu sepuluh tahun terakhir: demokratisasi yang lebih cepat dari kemampuan masyarakat untuk berbeda pendapat secara santun; transparansi berlebihan yang membuat hampir tidak ada lagi rahasia negara; lahirnya 200 partai politik yang menjadikan kehidupan politik tidak efektif serta diberlakukannya ekonomi pasar yang dalam hal tertentu lebih liberal dari negara liberal.
Secara khusus ia menyebutkan sistim Bikameral, pemilihan presiden langsung, DPR/DPRD yang sangat berkuasa, Bank Indonesia yang amat independen serta otonomi daerah yang dalam hal tertentu lebih federal dari negara federal sampai ada daerah dengan sistim yang berbeda dari sistem nasional.
Ia mengingatkan, Yugoslavia, negara federal yang sentralistik, ketika berkehendak memberikan otonomi yang luas kepada negara bagiannya, telah tercerai berai. Beberapa negara Afrika yang menginginkan kemerdekaan, stelah merdeka menghadapi perang saudara tak berkesudahan.
“ Setiap perubahan dapat membawa kemajuan dan kemunduran pada saat yang sama, tergantung dari kesiapan masyarakatnya untuk mengikuti perubahan serta kemampuan pemimpinnya untuk mengelola perubahan itu dan memberikan keteladanan agar terjadi kemajuan yang harmonis ( Progressio in Harmonia)”, tegasnya.
Secara khusus promovendus memberikan kehormatan untuk Lee Kwan Yew yang telah berhasil merubah Singapore dari “ An old Traditional China Town” menjadi sebuah negara yang sejahtera dan modern melalui keteladanannya.
“ Ia adalah pemimpin sederhana yang selalu tampil berbaju putih lengan pendek; memberi keteladanan bekerja keras yang selalu berada di kantornya hingga jam 10 malam; pemimpin yang hemat yang melakukan perjalanannya ke luar negri dengan pesawat reguler”, kenang promovendus.
Dengan diksinya yang tajam ia mengingatkan, berkembangnya etnocentrisme, primodialisme, fanatisme golongan serta merosotnya pluralisme dan toleransi dan kemampuan masyarakat untuk menyelesaikan berbagai friksi secara santun adalah bentuk-bentuk entropi bangsa yang berpotensi mencerai beraikan bangsa Indonesia yang heterogen ini.
© Copyright 2024, All Rights Reserved