Kementerian Riset, Teknologi, dan Pendidikan Tinggi (Kemenristekdikti) diminta untuk tidak sembarangan mengeluarkan izin pendirian sekolah kebidanan. Saat ini, banyak bidan yang dinilai tidak memiliki kompetensi dan kemampuan memadai. Padahal, bidan memiliki peran penting di tengah masyarakat, yakni melayani proses persalinan ibu hamil.
Setidaknya demikian pandangan yang disampaikan anggota Komisi IX Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) Irma Suryani kepada politikindonesia.com usai menjadi pembicara pada Forum Legislasi bertema "RUU Kebidanan" di Gedung DPR, Jakarta, Selasa (07/06).
Dikatakan politisi perempuan dari Partai Nasional Demokrat itu, saat ini jumlah bidan di Indonesia mencapai 325.000 orang. Jumlah itu, menurut badan kesehatan dunia (WHO) sudah melebihi jumlah yang wajar. Sebab, seorang bidan layaknya untuk 1.000 penduduk. Apalagi, bidan di Indonesia ada yang sampai bisa mengeluarkan resep obat. Meski hal ini tidak bisa dibenarkan.
"Karena itulah, UU ini sangat penting untuk mengatur kebidanan di Indonesia. Sehingga ke depannya, seorang bidan harus memiliki sertifikat, lesensi dan harus terakreditasi sebagai legitimasi untuk kompetensi, surat izin praktek kebidanan, baik dari dalam maupun luar negeri," ujarnya.
Kepada Elva Setyanigrum, perempuan kelahiran Metro Lampung, 6 Oktober 1965 ini ini bercerita tentang masalah yang terjadi pada kebidanan Indonesia. Lulusan Sekolah Tinggi Ilmu Ekonomi Indonesia, Jakarta ini juga menjelaskan perkembangan pembahasan RUU Kebidanan. Ia mendesak agar RUU ini segera disahkan. Berikut wawancaranya.
Apa sebenarnya, masalah krusial dalam dunia kebidanan kita?
Masalah yang mengemuka adalah terkait dengan distribusi dan kompetensi bidan. Soal distribusi, hingga saat ini, saya sering mendapatkan laporan bahwa di Indonesia Timur, banyak desa tidak ada satu orang bidan pun. Seperti Ambon NTT, NTB, Papua, Sumatera, Kalimantan dan Sulawesi.
Bahkan di Ambon ada seorang dokter yang harus melayani masyarakat untuk seluruh Ambon. Kondisi ini dialami oleh 20 persen desa di Indonesia, kebanyakan di Indonesia Timur.
Artinya negara belum sepenuhnya hadir memberikan pelayanan persalinan bagi rakyatnya. Kalau mengenai kompetensi, maka itu terkait pendidikan dan itu wilayah Komisi X DPR RI. Kita perlu mengkritisi tentang pendirian sekolah bidan kita. Demi kompetensi, sebaiknya perlu dikaji mendalam lagi sebelum memberikan ijin sekolah kebidanan.
Bagaimana dengan perkembangan draft RUU Kebidanan?
Hingga kini, kami di Komisi IX DPR belum bisa berbicara banyak terkait pembahasan RUU Kebidanan karena kami masih terus mencari referensi atau rujukan (sumber acuan) dari pengalaman UU Kebidanan dan UU Kedokteran dari negara lain. Terutama, dari negara yang kondisinya tidak jauh berbeda dengan Indonesia, dalam hal kondisi geografisnya.
Selain itu, kami masih butuh masukan dari masyarakat. Langkah tersebut diperlukan agar dalam pembahasan nanti, tidak ada overlapping atau tumpang tindih dengan UU kedokteran, UU keperawatan dan UU kesehatan dan lainnya.
Kami juga meminta IDI, POGI, IDAI memberi referensi. Nantinya, kami akan sisir satu persatu, apa masalah kebidanan yang terjadi di Indonesia sebenarnya. Selanjutnya, hasil dari penyisiran itu akan kami tuangkandalam UU Kebidanan. Jadi, RUU yang akan melindungi 70.000 bidan dan masyakarat ini masih panjang pembahasannya. Karena kami benar-benat ingin melahirkan UU yang berkualitas.
Menurut Anda, seberapa penting RUU Kebidanan itu?
Payung hukum ini sangat penting untuk segera disahkan dan seharusnya menjadi prioritas, mengingat hingga saat ini masih banyak bidan di Indonesia tapi tidak memiliki kompetensi memadai sebagai bidan.
Jadi, tidak semua bidan bisa praktek mandiri. Selama ini, bidan hanya sebagai asisten dokter dan pelayanan kesehatan. Maka, UU ini akan menjadi dasar hukum para bidan di lapangan ketika seorang bidan melakukan malpratik. UU ini juga dapat dijadikan sebagai perlindungan dalam menjalankan praktik sehari-hari dalam profesinya.
Tumpang tindih praktik kebidanan dan dokter kandungan harus secara dibedakan. Jadi memang undang-undang tersebut harus diperhatikan, serta diutamakan. Sehingga profesi kebidanan dalam pola rekruitmennya tak lagi terjadi tumpang tindih otoritas.
Apa harapan Anda dengan RUU ini?
Kami berharap RUU ini dapat memberikan solusi yang komprehensif bagi bidan di Indonesia. UU ini nantinya dapat menjadi UU yang berkualitas. Untuk itu kami benar-benar serius merumuskan draf RUU Kebidanan. Upaya itu kami lakukan untuk bisa mengatasi masalah kekurangan tenaga dokter kandungan. Karena dari 3.000 sampai 4.000 tenaga dokter kandungan pasti tidak akan mencukupi untuk melindungi persoalan ibu dan anak. Dari jumlah itu, umumnya mereka berkumpul di kota besar, sehingga membuat daerah kekurangan tenaga medis.
Mengapa banyak tenaga medis yang berkumpul di kota besar?
Salah satu faktor yang membuat tenaga medis terpusat di kota besar dan sulit ditugaskan ke daerah, adalah insentif kecil, serta kurang terjaminnya fasilitas dan infrastruktur pendukung dalam bekerja. Saya pun melihat keberadaan bidan bisa mengisi kekurangan dokter kandungan di daerah, sehingga mengatasi permasalahan ketimpangan jumlah tenaga medis. Tapi bidan itu harus yang sudah sudah bersertifikas. Karena sertifikasi ini tidak sekadar sertifikasi, melainkan pengalaman. Sudah berapa kali membantu persalinan dengan zero accident. Jadi, sertifikasi tidak boleh jadi sertifikat formal yang diperjualbelikan.
© Copyright 2024, All Rights Reserved