Isu perdamaian seperti menjadi isu abadi. Diembuskan tanpa henti, tapi konflik juga tetap terjadi.
Kondisi ini tak hanya terjadi di berbagai belahan dunia. Di negara ini, konflik yang terjadi hanya karena selisih paham, perbedaan pendapat dan biasanya dipicu keinginan menjadi yang paling benar.
Meski konflik tak henti, mereka yang bergerak dalam isu-isu perdamaian juga terus berjalan. Tak mudah, tapi bukan berarti menyerah. Lelah tapi perjuangan terus dijalankan.
Salah satu perempuan yang bergerak dalam isu-isu perdamaian adalah Siti Hanifah Haris.
Kiprahnya dalam perjalanan sebagai aktivis perdamaian sudah berjalan lebih dari 20 tahun. Hanifah kini menjadi konsultan UN Women untuk isu perdamaian dan spesialis keamanan dan pemberdayaan perempuan.
Endah Lismartini dari politikindonesia.id mewawancarai Siti Hanifah Haris, Direktur Yayasan Bhakti Budhi Pertiwi Consultant for Women Peace and Security Specialist UNWomen, soal perdamaian dan Indonesia hari ini. Berikut petikan wawancaranya:
Sebagai aktivis perdamaian, sebenarnya apa kerja-kerja khusus yang dilakukan untuk menciptakan perdamaian?
Sebenarnya kita bisa mulai dengan kata perdamaian itu sendiri. Kalau secara teori kan artinya tidak ada konflik, atau ketika ada konflik mampu mengelolanya sehingga ada perubahan yang positif pasca konflik tersebut.
Artinya masyarakat memiliki kemampuan untuk mengelola konflik ke arah yang lebih positif. Artinya ada ketahanan di situ, mereka menyadari punya kapasitas, punya kerentanan menghadapi ancaman, tapi kapasitasnya lebih besar untuk mengatasi masalah dan ancaman di masyarakat itu sendiri.
Sebenarnya kalau pembangunan perdamaian tujuannya ke situ. Jadi membangun kondisi sosial, membangun harmoni di dalam masyarakat. Kalau kita bicara tidak ada konflik, kan hampir pasti tidak mungkin. Konflik itu, baik yang laten maupun yang termanifes kan selalu ada. Jadi membicarakan pembangunan perdamaian itu sebenarnya dimulai dari diri sendiri. Mampu enggak kita mengelola konflik yang ada di diri kita. Kemudian, mampu enggak kita mengelola konflik dalam relasi kita dengan keluarga, dengan pasangan, dengan masyarakat, baru kemudian ke area yang lebih luas.
Apakah ada proses khusus untuk menuju perdamaian yang ideal?
Jadi itu background-nya, bagaimana menguatkan individu. Kalau dalam konsepnya Paul Lederach, transformasi individu, relasional, lalu kemudian struktural, baru kemudian kultural.
Nah kalau yang individu ini kan penguatan kapasitas, dengan cara punya perspektif damai, tahu akar konflik, tahu akar damai. Jadi pengetahuannya bukan hanya terkait konflik saja, tapi juga tahu, kira-kira masyarakat itu tahu enggak sih, mereka punya akar damai yang bisa menyatukan merek. Itu ada pada setiap individu. Jadi mereka punya kapasitas itu.
Lalu yang relasional itu bagaimana membangun relasi, hubungan, baik dengan keluarga, pasangan, tetangga, dan dengan masyarakat yang lebih luas. Itu step kedua. Lalu step ketiga adalah struktural, jadi dia melakukan advokasi, bagaimana di wilayahnya ada kebijakan, nilai, lalu ada norma sosial, terkait dengan upaya-upaya yang membutuhkan perdamaian di wilayahnya itu, misalnya rembuk desa, lalu memastikan keterlibatan dan pemberdayaan perempuan di dalam proses perencanaan pembangunan, itu kan sudah masuk ke struktural. Jadi bagaimana government di level lokal dan stake holder memiliki mekanisme membangun perdamaian. Kalau terjadi konflik, siapa mediatornya, apakah ini juga berdampak terhadap perempuan dan anak. Jadi menggunakan perspektif gender dalam upaya menciptakan perdamaian itu.
Dan level yang terakhir adalah kultural, yaitu bagaimana masyrakat bisa merayakan perbeddaan. Itu kasta tertinggi. Jadi, orang boleh berbeda, karena mereka kan punya pengalaman berbeda, background yang berbeda, tapi enggak perlu itu dipermasalahkan. Mari kita rayakan perbedaan itu. Jadi ada hal yang menyatukan, tapi orang tetap bisa menerima dan menghargai perbedaan itu. Nah kalau sudah sampai tahap itu, maka itu sudah selesai. Enggak ada konflik. Mungkin saya tidak cocok dengan seseorang, tapi orang itu kan punya pengalaman yang berbeda sehingga dia punya perspektif seperti itu.
Simpelnya ini terjadi jika ada sikap saling menghargai?
Iya. Jadi sampai pada tahap bisa menerima perbedaan dengan seseorang, karena kita punya pengalaman yang berbeda.
Misalnya dalam suatu pemilihan, kita sama-sama dukung A, tapi motivasi kita belum tentu sama karena kita berangkat dari pengalaman yang berbeda. Di Pilpres kemarin juga gitu. Banyak pendukung Prabowo, tapi bisa jadi motivasi mendukungnya beda-beda karena dilatari pengalaman yang berbeda-beda.
Jadi level tertinggi perdamaian adalah jika masyarakat sudah menghargai perbedaan dan merayakannya. Jadi tidak lagi mempermasalahkan. Apalagi kita dalam konteks Indonesia sudah punya Bhinneka Tunggal Ika. Artinya kita berbeda semua, tapi kita disatukan oleh ikatan yang bernama Indonesia.
Tapi rasanya seperti dalam sekam, ketika masyarakat Indonesia sadar bahwa punya latar belakang yang berbeda-beda, tapi ketika ada konflik, perbedaannya malah meruncing dan menimbulkan konflik?
itu karena muncul rasa di dalam dirinya, bahwa yang berbeda dengan dia salah, yang paling benar adalah saya. Ini kan artinya di level individu saja dia belum selesai. Orang dengan perspektif seperti itu, maka biasanya secara ideologis dia punya kewajiban atau merasa punya kewajiban untuk membenarkan dan membawa mereka kembali dari ketersesatan itu. makanya penguatannya adalah melalui individu dulu, melalu training, pendampingan. Itu dalam rangka untuk menguatkan individu.
Kemudian setelah individu, outcomenya apa? Di relasional. Kemudian ketika kita melakukan advokasi ada kebijakan, harapannya kan kebijakan ini bisa mengatur masyarakat yang lebih luas biar mereka punya kultur damai.
Apa benar masyarakat di masa lalu memang lebih toleran, sementara masyarakat sekarang justru lebih susah menghargai perbedaan?
Jadi, ketika era reformasi keran kebebasan dibuka sebebas-bebasnya. Orang merasa punya hak untuk berekspresi sebagaimana yang dia mau. Kadang ketika merayakan ekspresinya, mereka abai dengan orang lain. Sehingga kemudian ada truth claim bahwa ideologinya adalah yang paling benar. Kan yang paling mengkhawatirkan setelah reformasi itu adalah penguatan identitas.
Orang yang sebelumnya hidup dalam represifitas Orde Baru, enggak berani ngapa-ngapain. Tapi setelah reformasi, semua dibuka. Akhirnya kebebasan itu jadi kebablasan.
Jadi mereka tidak menyadari bahwa ada hak orang lain yang terlanggar dari kebebasan yang dia nikmati. Siapa yang paling sering terlanggar haknya?
Biasanya kelompok marginal dan kelompok minoritas. Atas nama kelompok mayoritas, maka kelompok minoritas harus ikut maunya kelompok mayoritas. Itu yang kemudian membuat penguatan identitas ini jadi bertambah kuat.
Dulu zaman Soeharto, orang berjilbab terdiskriminasi, tapi sekarang terbalik kan? Orang yang enggak berjilbab sekarang dianggap disobedient women. Misalnya, kamu alumni pesantren, tapi kok kerudungmu kayak gitu? Itu kan penguatan identitas, bahwa Muslim harus berjilbab dengan cara seperti ini.
Jadi, hari ini masyarakat seperti menentukan sendiri standar mereka dan memaksakan standar itu ke orang lain. Itu yang menurutku ada dampak negatif dari proses reformasi ini.
Jadi, euphoria menikmati kebebasan berekspresi, tapi kemudian ada hak-hak orang lain yang terlanggar. Padahal kan ketika bicara hak dan kewajiban, itu harusnya seimbang. Jadi kita punya hak, tapi orang lain juga punya hak. Jadi kita harus memikiran itu. Tapi ini enggak terjadi. Makanya kemudian, peminggiran terhadap kelompok-kelompok minoritas agama, minoritas etnis, minoritas gender, itu jadi semakin tebal di era reformasi ini.
Dalam kondisi seperti ini, apakah peran negara sangat perlu untuk mengatasi dan mencegah konflik terjadi antar masyarakatnya?
Tetap peran negara yang harus dominan. Karena ketika ngomongin demokrasi, pemenuhan HAM, itu kan tugas negara. Ada 3 tugas negara kan, to protect, to respect, to fullfil. Apalagi kalau itu terkait dengan human rights. Cuma kalau kita, sebagai masyarakat sipil, kita kan punya tugas untuk membangun capacity building di antara sesama masyrakat sipil itu tujuannya adalah agar masyarakat punya daya critical thinking. Tidak menjadi masyarakat yang apatis, atau masyarakat yang merasa sudah diwaklili oleh orang lain.
Menurut Anda, kenapa kita tetap harus membangun masyarakat yang kritis?
Pertama, supaya pemerintah juga tidak semena-mena terhadap kelompok-kelompok yang minoritas tadi. Jadi sebagai pengingat kepada pemerintah bahwa pemerintah punya kewajiban ini, yaitu melindungi HAM, menghormati, dan memenuhi hak-hak itu. Dan kedua, penegakan hukum. Selama in ikan siapa yang kuat dia akan kebal hukum, siapa yang lemah ya akan jadi korban terus. Nah itu juga yang menjadi pekerjaan rumah di negara kita. Ini tuh sebenarnya bagus, untuk melihat negara kita seperti apa.
Meskipun secara indeks global, Indonesia sudah masuk demokrasi tidak sempurna. Jadi kan level pertama adalah otoritarian, kedua hybrid, ketiga tidak sempurna, dan paling tinggi adalah demokrasi sempurna. Artinya Indonesia sudah satu level di bawah demokrasi yang sempurna.
Jadi sekarang ini demokrasi Indonesia sudah membaik?
Iya, di era ini. Samapi 2023 kemarin Indonesia sudah masuk di level demokrasi tidak sempurna. Artinya kan upaya-upaya perbaikan kita menuju negara yang demokrasi itu sudah terlihat. Karena masyarakat sipil di Indonesia memang lumayan kuat. Kalau di negara-negara yang otoritariannya kuat kan masyarakat sipil enggak punya ruang. Kalau di Indonesia, bagusnya sekarang, sejahat apapun Jokowi dia masih buka civil space itu. sekarang di semua Kementerian hampir semua ada partisipasi masyarakat.
Jadi kalau bicara dengan teman-teman yang sudah sangat putus asa dengan kondisi Indonesia yang katanya menuju otoritarian ini, aku masih berani bilang, kita masih punya harapan karena pemerintah masih membuka ruang untuk masyarakat sipil. Apalagi sekarang ada Swakelola 3, itu kan program-program pemerintah yang dilakukan oleh masyarakat sipil. Artinya, pemerintah juga punya kepercayaan pada masyarakat sipil. Kalau dulu kan CSO (Civil Society Organization) ini kan dianggap musuh oleh pemerintah. Begitu juga sebaliknya.
Tapi sekarang sepertinya juga mulai ada kecenderungan saling jaga jarak antara pemerintah dan masyarakat sipil?
Sebagai masyarakat sipil, menurutku kita perlu beradaptasi dan melihat peluang-peluang yang ada. Kita enggak bisa berdiri konfrontatif, itu enggak bisa. Karena enggak akan dapat apa-apa sekarang itu. Kalau kita menyerang pemerintah, pemerintah juga akan defend. Enggak akan terima masukan kita. Tapi kalau kita masuk menjadi teman, menjadi mitra buat mereka, kita bisa membangun di dalam. Kan sekarang banyak teman-teman CSO melakukan peningkatan kapasitas untuk pemerintah. Itu kan artinya pemerintahnya terbuka dengan kita.
Artinya sebenarnya, era hari ini adalah kolaboratif. Jadi sikap konfrontasi saling memusuhi itu sudah enggak pas lagi?
Betul. Jadi sekarang yang diplomatis saja. Ketika kita melakukan advokasi, kita kan sebenarnya butuh pada pemerintah untuk mereka melakukan kebijakan seperti yang kita mau. Walaupun sebenarnya kebijakan seperti itu memang jadi kewajiban negara. Cuma kadang mereka juga punya lack of capacity.
Kemampuannya kurang, atau human resources-nya juga kurang. Jadi keberadaan kita itu sebenarnya untuk mensupport mereka supaya negara kita itu punya perlindungan yang lebih baik. Punya komitmen yang lebih baik untuk melindungi warga negaranya. []
© Copyright 2024, All Rights Reserved