KETIKA Mohammad Hatta mengundurkan diri sebagai Wakil Presiden (Wapres) 1 Desember 1956, sejak itu Presiden Soekarno tidak lagi memiliki Wapres sampai masa jabatannya berakhir pada 12 Maret 1967. Presiden tanpa didampingi Wapres juga terjadi begitu BJ Habibie menggantikan Soeharto yang mengundurkan diri pada 21 Mei 1998. Dalam masa jabatannya yang pendek kurun waktu 21 Mei 1998-20 Oktober 1999, Habibie sama sekali tidak memiliki Wapres.
Tampaknya sudah lama bangsa kita menempatkan Wapres sebagai cadangan semata tanpa peduli bermutu atau tidak. Perhatikanlah, bila terjadi kekosongan Wapres, Pasal 8 ayat (2) UUD 1945 hanya memuat ketentuan agar MPR selambat-lambatnya dalam waktu 60 hari, menyelenggarakan sidang untuk memilih Wapres dari dua calon yang diusulkan oleh Presiden. Meski level Wapres lebih tinggi, proses pemilihannya hampir serupa seperti memilih calon Kapolri, Panglima TNI, Duta Besar, Komisioner KPK, dan lain-lain.
Seperti diketahui, Pasal 8 ayat (2) UUD 1945 baru muncul dalam amandemen ketiga UUD 1945. Dengan kata lain, UUD 1945 sebelum amandemen sama sekali abai pada soal pengisian kekosongan jabatan Wapres.
Memang kurangnya kepedulian kita tentang pentingnya mutu pemimpin nomor 2 (bahkan dan juga pemimpin nomor 1) di negara kita bisa kita lihat pada Pasal 169 UU Nomor 7/2017 tentang Pemilu yang mengatur persyaratan menjadi calon Presiden dan calon Wapres. Meski pasal ini terdiri atas 20 huruf, pasal ini sejatinya abai pada keinginan untuk melahirkan orang nomor 1 dan 2 yang bermutu dan mumpuni.
Bayangkan, walau isi Pasal 169 UU Nomor 7/2017 jauh dari memadai, MK masih berani mengubah soal umur demi kepentingan seseorang dengan menambah frasa “atau pernah/sedang menduduki jabatan yang dipilih melalui pemilihan umum termasuk pemilihan kepala daerah” sehingga selengkapnya berbunyi, “berusia paling rendah 40 tahun atau pernah/sedang menduduki jabatan yang dipilih melalui pemilihan umum termasuk pemilihan kepala daerah.”
Di sini MK benar-benar melakukan pelanggaran etika yang memilukan dan memalukan. Betapa tidak, dengan penambahan frasa ini capres atau cawapres yang berumur kurang dari 27 tahun dan berpengalaman sebagai anggota DPRD di sebuah daerah kecil karena dipilih oleh seribu orang sekalipun bisa diajukan oleh parpol atau gabungan parpol.
Lebih memilukan dan memalukan lagi manakala ada mantan Ketua MK dan Ketua Majelis Kehormatan MK yang meminta masyarakat agar memaafkan pemilik akun Fufufafa jika memang benar pemiliknya adalah Gibran, sang Wapres terpilih. Pasal 169 huruf j menyebutkan, syarat menjadi Presiden atau Wapres adalah tidak pernah melakukan perbuatan tercela. Terang benderang (ceto welo-welo) pasal ini menyebutkan kata “pernah”, namun aneh bin ajaib, entah dengan motif apa, mantan Ketua MK itu tidak malu-malu berkata demikian.
Padahal janggal sebenarnya bila masyarakat diminta untuk memaafkan orang yang tidak pernah meminta maaf. Alih-alih meminta maaf, ia malah menampik sebagai pemilik akun di tengah sejumlah bukti yang sulit terbantahkan. Bahkan, meski adik kandungnya belakangan mengakui kakaknya sebagai pemilik akun, ia tetap bergeming.
Gibran yang Beritikad Baik dan/atau Polri yang Proaktif
Dikabarkan pada 10 Oktober 2024, PTUN akan mengeluarkan putusan terkait dengan gugatan PDIP ke KPU yang teregistrasi dengan nomor perkara 133/G/2024/PTUN.JKT. Namun, apapun putusan itu, semuanya tetap terpulang pada itikad baik Gibran dan/atau Polri yang proaktif karena menempatkan kasus Fufufafa sebagai delik biasa.
Bila Gibran menghendaki bangsa ini dipimpin oleh orang nomor 2 yang jauh lebih baik dan layak darinya, Gibran akan mengundurkan diri sebelum pelantikan 20 Oktober 2024. Jauh lebih baik lagi, bila Polri tetap tidak mau proaktif, demi kepentingan bangsa dan negara, sebelum itu secara kesatria Gibran mendatangi Polri untuk diperiksa soal kepemilikan akun Fufufafa.
Memang harus diakui, batalnya pelantikan Gibran masih menyisakan sedikit persoalan bila itu terkait dengan “pernah melakukan perbuatan tercela.” Pasal 169 huruf j UU Nomor 7/2017 tentang Pemilu yang mengatur tentang itu jelas masuk dalam rezim Pemilu.
Lantaran batalnya pelantikan dalam kasus ini masuk dalam rezim Pemilu, tentu pada tempatnya kita melihat lebih dulu pasal (dan ayat) yang terkait dengan Pasal 169 huruf j UU Nomor 7/2017, yakni Pasal 427. Sayangnya, Pasal 427 yang terdiri atas empat ayat ini tidak cukup mengatur bila Wapres terpilih berhalangan tetap sebelum pelantikan. Pasal 427 ayat (4) justru mengatur bila calon Presiden dan Wapres terpilih berhalangan tetap sebelum dilantik menjadi Presiden dan Wapres.
Mengapa tidak bisa hanya merujuk pada Pasal 8 ayat (2) UUD 1945? Pertama, Pasal 8 ayat (2) mengasumsikan Presiden dan Wapres sudah dilantik. Kedua, bila Presiden yang sudah dilantik berhalangan tetap sebelum pelantikan anggota kabinetnya, tidak ada yang bisa menjadi pelaksana tugas kepresidenan. Dalam hal ini kita bisa berkaca pada meninggalnya mantan Kepala Negara Vatikan Paus Johanes Paulus I pada 26 Agustus 1978 di usia menjelang 66 tahun hanya 33 hari setelah menjabat. Ketiga, idealnya, sebagai dwi tunggal dan pasangan yang sepadan, Presiden perlu mendengar pertimbangan Wapresnya dalam pembentukan kabinet.
Menurut hemat Penulis, agar kita tidak kehilangan substansi penting dari Pasal 427 ayat (4) dan tetap merujuk pada Pasal 8 ayat (2) UUD 1945, maka Presiden dan MPR dapat menempuh 2 langkah. Pertama, sebelum pelantikan 20 Oktober 2024, Presiden terpilih sudah mendapatkan 2 nama dari gabungan partai pengusung Paslon 2 dan Paslon 1. Bisa saja 1 nama berasal dari usulan gabungan partai pengusung Paslon 2 dan 1 nama lagi berasal dari gabungan partai pengusung Paslon 1. Dua nama inilah yang kemudian diinstalasi sebagai calon yang diusulkan oleh Presiden. Kedua, mengacu pada Pasal 8 ayat (2) UUD 1945, MPR menyelenggarakan sidang untuk memilih Wapres dari 2 calon yang diusulkan oleh Presiden tersebut tidak lama setelah Presiden dilantik (idealnya pada hari yang sama).
Bila nama yang dipilih oleh MPR secara aklamasi atau voting adalah nama yang diajukan oleh gabungan partai pengusung Paslon 1, seperti yang
Legitimasi Presiden dan Wapres menjadi sangat kuat karena sejatinya dipilih oleh lebih dari 83,5% pemilih.
Pilihan seperti itu menjadi pilihan rasional karena nama Wapresnya tidak turun dari langit. Lagipula, keduanya berpotensi besar menjadi perekat bangsa yang sempat terbelah dalam 3 pemilu lalu dan menghasilkan residu yang berat.
Apalagi, karena kualitas kepemimpinan keduanya, niscaya dwi tunggal yang sepadan ini bisa menjalankan kewajibannya memenuhi 4 tujuan nasional kita yang termaktub dalam alinea ke-4 Pembukaan UUD 1945. Yang tidak boleh dilupakan, ini bisa menjadi penanda yang jelas bahwa Prabowo adalah negarawan, sangat pemaaf, dan tidak memandang jabatan Wapres dengan sebelah mata dan sekadar ban serap.
*Penulis adalah Pemerhati Kepemimpinan dan Demokrasi
© Copyright 2024, All Rights Reserved