Cukup dan tidak. Itulah kata-kata yang cocok untuk menggambarkan langkah politik yang diambil Pemerintah Republik Indonesia terhadap Perserikatan Bangsa Bangsa (PBB). Sebuah pesan yang sangat jelas dari Jakarta untuk PBB mengenai kasus pelanggaran hak asasi manusia pasca referendum di Timor Timur.
Jakarta merasa sudah menuruti hampir semua kemauan PBB dalam menangani Timor Timur. Rekomendasi PBB untuk menyelenggarakan referendum di Timor Timur sudah dilakukan oleh Jakarta. Hasilnya, sudah diketahui, Timor Timur menjadi sebuah negara yang berdaulat.
Bila dalam referendum terjadi gejolak atau kerusuhan, Jakarta merasa itu wajar karena ada yang pro dan kontra terhadap kemerdekaan Timor Timur. Bahkan, Jakarta berpendapat PBB juga harus ikut bertanggung jawab atas kerusuhan yang terjadi pasca referendum itu.
Karena itu wajar bila Pemerintah Indonesia menolak rekomendasi Komisi Ahli Perserikatan Bangsa-Bangsa (Commision of Expert). Apalagi rekomendasi itu meminta dilakukannya kembali proses keadilan dan rekonsiliasi dalam kerangka Komisi Kebenaran dan Persahabatan (Commision Truth and Friendship) atas kasus dugaan pelanggaran hak asasi manusia pascapenentuan pendapat di Timor Timur.
Penolakan tersebut disampaikan langsung oleh Menteri Luar Negeri Indonesia Hassan Wirajuda yang akan mengirim surat secara resmi ke Sekretaris Jenderal PBB dan Dewan Keamanan PBB. ”Pada dasarnya beberapa rekomendasi yang disampaikan Komisi Ahli memang tidak dapat kita setujui. Kita tolak,” ujar Hassan Wirajuda.
Kebijakan Jakarta yang telah dan akan terus ditempuh adalah bekerja sama dengan Pemerintah Timor Leste berdasarkan kesepakatan menyelesaikan masa lalu melalui Komisi Kebenaran dan Persahabatan (KPP). “Kita konsisten dengan posisi ini,” tegas Menlu.
Selain itu, Pemerintah Indonesia juga menolak rencana PBB untuk membentuk mahkamah internasional untuk menindaklanjuti rekomendasi Komisi Ahli. ”Pilihan kita tidak banyak antara proses justice yang sudah kita lakukan dan rekonsiliasi. Tetapi mengambil dua-duanya, itu namanya mau enak sendiri. Enak buat mereka, tidak enak buat kita,” kata Hassan.
Kebijakan Pemerintah Indonesia tersebut sepenuhnya akan didukung oleh masyarakat Indonesia. Hal ini dapat dimengerti, karena rakyat Indonesia pada intinya masih trauma atas hilangnya provinsi ke-27 tersebut. Apalagi, masyarakat merasa bahwa Australia ada dibalik merdekanya Timor Timur dan saat ini Australia sepertinya menelantarkan Timor Leste.
Masyarakat internasional juga mesti memahami kebijakan tegas yang diambil Pemerintah Indonesia ini. Bila kebijakan itu berkonsekuensi Indonesia berpeluang kecil menduduki jabatan Dewan Keamanan (DK) PBB, sepertinya Pemerintahan Susilo Bambang Yudhoyono tidak akan ambil pusing. Karena martabat dan harga diri bangsa lebih tinggi dari jabatan DK tersebut.
© Copyright 2024, All Rights Reserved