Pusat Kajian Anti Korupsi (Pukat) Universitas Gadjah Mada mendesak Presiden Joko Widodo (Jokowi) menolak revisi Undang Undang (UU) Komisi Pemberantasan Korupsi ( KPK) dan bukan sekadar menunda pembahasan di DPR.
Pukat UGM menilai penundaan pembahasan revisi UU KPK adalah langkah keliru. Meskipun sudah masuk program legislasi nasional (prolegnas) DPR namun pembahasan revisi UU KPK itu bisa ditolak dan dihentikan.
"Prolegnas itu bukan harga mati. Mekanisme prolegnas itu kesepakatan usulan antara presiden dan DPR. Logika sederhananya kalau banyak penolakan publik, prolegnas bisa diubah," kata peneliti Pukat UGM, Hifdzil Alim, Selasa (23/02).
Hifdzil menjelaskan, penetapan prolegnas itu berdasakan jumlah masuknya undang-undang per tahun. Jadi kalau programnya tidak sesuai dengan kebutuhan masyarakat, maka harus direvisi.
"Jadi bukan Undang-undang KPK yang perlu direvisi tapi prolegnasnya yang direvisi," ujar Hifdzil.
Menurut Hifdzil, pilihan Presiden Joko Widodo (Jokowi) untuk menunda pembahasan revisi Undang-undang KPK bukan pilihan yang tepat. Arus publik yang mendorong penolakan revisi itu didasakan pada substansi revisi yang dapat melemahkan KPK.
"Semestinya, Presiden bisa tegas soal ini. Artinya, seharusnya yang muncul bukan kata tunda, tetapi tolak," kata Hifdzil.
Penundaan revisi UU KPK tidak menyelesaikan inti masalah berupa pelemahan KPK melalui undang-undang. Sebab dalam beberapa bulan berikutnya bisa jadi usul revisi akan diterbitkan lagi. Gelombang penolakan pun akan muncul lagi. Bahkan lebih besar lagi.
"Presiden harus mendengarkan masukan dan kritik publik. Pilihannya hanya ada satu, tolak revisi UU KPK, bukan tunda revisi," kata Hifdzil.
© Copyright 2024, All Rights Reserved