MENJELANG rampungnya masa tugas Presiden Joko Widodo untuk digantikan Presiden baru pilihan rakyat secara mutlak, Prabowo Subianto, suami Iriana Jokowi seperti terkesan ingin memanfaatkan sisa waktu sekitar enam bulannya untuk menunjukan kekuatan kekuasaannya.
Namun sayangnya bukan kepemimpinan yang biasa banyak dilakukan oleh presiden atau pemimpin negara yang masa tugasnya akan selesai.
Jokowi tak merasa jengah, apalagi rasa bersalah mempertunjukan perilaku yang sangat vulgar terkait watak dan karakter dalam cara berpolitik seorang kepala negara.
Ironisnya tak ada kekuatan mendasar yang dapat mencegahnya, sehingga keterbelengguan pemegang kekuatan politik semakin tampak mencuat, meskipun belum tentu sebagai pembenaran sepak terjangnya itu.
Memang sejak semula para pakar karakter dan watak semestinya sudah paham tentang cara Jokowi merambah ke kekuasaan tertingginya.
Jokowi adalah tipe orang yang bahkan berani mencium kaki tak hanya tangan pada orang sepenting ketua partai dan politik demi tercapainya ambisi besar yang diimpikannya.
Dengan lakon tipuan seperti itu menjadi antitesis nyata ketika ambisi di puncak kekuasaannya tak tergapai maka menghempaskan Ketua Umum PDIP Megawati Soekanoputri secara "air susu dibalas air tuba" pun menghentak banyak pihak.
Bahkan para konglomerasi pendukungnya dibuatnya terkejut dan terheran-heran yang menandakan ungkapan "hal biasa dalam politik" tak cukup mampu menutup penjelasan apa pun.
Hanya satu terlihat, kebencian atas rasa terhina (acapkali disebut petugas partai) berbumbu keserakahan berkuasa menjadikannya lupa dan jauh dari etika tatakrama.
Jokowi lupa membalas budi jasa besar pada orang yang memberinya jalan kekuasaan secara lenggang dengan ringannya di mana mereka bekerja keras meyakinkan rakyat untuk memilih dirinya ketika itu.
Jokowi lupa bahwa dukungan kelompok koalisi pada dirinya bukanlah dukungan atas moral perilaku, tetapi dukungan akses politik kekuasaan yang wajar dalam alam demokrasi.
Oleh karenanya tidak dapat dimaknai sebagai pengabdian totalitas, sama sekali tidak mungkin.
Tetapi dukungan seperti itu niscaya masih dapat diperolehnya dari pimpinan partainya karena dia petugasnya.
Hal yang paling mendasar dalam membalas budi seperti ini saja tidak dimilikinya, apalagi kepada bangsa dan negaranya.
Maka wajar ketika kemudian banyak masalah mencuat satu per satu dimasa akhir tugasnya selaku presiden dan kepala negara.
Kekonyolan perebutan kepala daerah jelang kontestasi pilkada khususnya pada daerah tertentu sarat dengan suara di ranah publik bahwa Presiden Jokowi masih saja cawe-cawe untuk urusan seperti ini, karena di sana ada sang putra Kaesang Pangarep.
Membantah perihal cawe cawe ini pun menjadi kandas sebagai rahasia umum yang sekali lagi tentu saja masyarakat melihatnya dari perilaku dan ucapan yang sering kali tak sesuai dalam realitanya.
Ekonomi tidak meroket malah menurun tajam dalam kehidupan riil rakyat banyak. Hukum tak berjalan keadilannya, politik penuh intrik negatif, dunia hitam seperti mafia kasus, perjudian liar dan online berani tampil di permukaan.
Pelaku korupsi malah tampil gagah berani dan bangga, aparatur negara dahsyat dalam memperkaya dirinya sendiri, bahkan termasuk swasta-swasta tertentu meskipun sebagian darinya terpaksa tunduk akibat alat kekuasaan yang penuh 'pressed'.
Jadi jelas terlihat Jokowi bermain semakin kasar saja sejak proses-proses wacana tiga periode, perpanjangan masa jabatan hingga akhirnya menampik PDIP demi percawean yang acapkali dibantahnya tetapi semakin tampak kebenarannya.
Malah menjadikannya semakin terlihat "miskin" secara moralitas sehingga ketika kabar Jokowi menangis di acara zikir dan doa kebangsaan di Istana Negara.
tidak banyak simpatik yang mengalir bahkan sinisme semakin mencuat di tengah permintaan maafnya kepada masyarakat dalam sambutannya di sana.
Barangkali tak terbayangkan sama sekali olehnya bahwa kerusakan yang dibuatnya jauh lebih parah dari hasil pembangunan infrastruktur yang dijadikan salah satu alat popularitas dirinya di samping gerombolan influencer di baliknya.
Kini waktu menghitung hari semakin mendekat, ekspresi sedih apalagi penyesalan bukan jawaban.
Ksatria sejati tak menitikan air mata, tetapi berani menunjukan kebenaran dengan bertanggung jawab penuh atas semua ekses kekasaran dalam memainkan politik kekuasaan tanpa bobot etika dan kepatutan moral yang semestinya menjadi contoh bagi bangsa yang besar ini.
*Penulis adalah Pemerhati Sosial Politik
© Copyright 2024, All Rights Reserved