Mantan Menteri Pertahanan Juwono Sudarsono menilai, gagasan untuk membuat Undang-Undang Keamanan Dalam Negeri (Internal Security Act/g)-seperti yang dimiliki Singapura dan Malaysia-tidak akan banyak membantu mencegah aksi terorisme yang makin marak di Indonesia.
Yang lebih mendasar untuk dibenahi, kata Juwono, adalah kemampuan efektif dari koordinasi dan implementasi aparat serta perangkat keamanan.
Karena itu, lanjutnya, pelibatan sejumlah institusi yang memiliki ketangguhan dalam penanggulangan terorisme menjadi hal lebih penting dibandingkan dengan sekadar bergulat dalam soal wacana pembuatan undang-undang.
Pemikiran ini dilontarkan Juwono Sudarsono menanggapi pernyataan Menteri Pertahanan Matori Abdul Djalil.
Matori mengatakan, sudah saatnya Indonesia punya semacam ISA karena Indonesia berkali-kali kebobolan oleh aksi terorisme yang menimbulkan korban jiwa cukup banyak. Dikatakan juga, aparat keamanan kebobolan karena tidak diberi wewenang untuk melakukan langkah-langkah pre-emptive (Kompas, 10/8).
ISA yang berlaku di Malaysia dan Singapura adalah UU Keamanan Dalam Negeri yang memberi wewenang kepada pemerintah untuk menahan seseorang atau kelompok yang dianggap membahayakan keselamatan negara dan bangsa tanpa melalui proses pengadilan. Masa penahanan bisa mencapai dua tahun.
Indonesia sendiri saat ini memiliki UU No 15 Tahun 2003 yang memberlakukan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-undang (Perpu) No 1/2002 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme. Dalam Pasal 28 UU itu disebutkan bahwa penyidik bisa menangkap setiap orang yang diduga keras melakukan tindak pidana terorisme berdasarkan bukti permulaan paling lama 7 x 24 jam.
Juwono Sudarsono menilai, relatif suksesnya penanggulangan aksi terorisme di Singapura dan Malaysia bukan semata-mata karena mereka memiliki ISA, melainkan karena kemampuan efektif koordinasi dan implementasi aparat keamanannya yang nyata.
"Pelaksanaan kemampuan efektif aparat keamanan itu yang menjadi deterrent (penangkal) bagi orang yang akan melakukan aksi teror," kata guru besar hubungan internasional Universitas Indonesia ini, seraya mengungkapkan keraguannya bahwa ISA bisa menyelesaikan aksi terorisme jika kemampuan efektif aparat keamanan tidak dibenahi.
Juwono mengakui, saat ini ada kekhawatiran untuk melibatkan militer dalam penanggulangan aksi terorisme. Padahal, secara nyata Tentara Nasional Indonesia (TNI), khususnya Komando Pasukan Khusus (Kopassus), memiliki kemampuan itu.
"Di benak kita, militer tidak boleh turut serta lagi. Padahal di luar negeri-dengan ukuran negara lebih kecil pun-keterpaduan antara kepolisian dan militer dilakukan untuk melakukan perang terhadap terorisme. Indonesia kan sangat luas," katanya.
Juwono juga menyayangkan dihapusnya fungsi teritorial yang dimiliki TNI Angkatan Darat setelah kewenangan TNI dibatasi pada masalah pertahanan, bukan keamanan. Padahal, melalui bintara pembina desa (Babinsa), TNI bisa mendapatkan data intelijen akurat, terutama di wilayah-wilayah yang aparat sipilnya belum hadir. "Saya termasuk yang tidak setuju fungsi teritorial dihilangkan secara serentak. Wilayah pelosok dan pedalaman masih membutuhkan," katanya.
Namun diakui, saat ini terjadi pergulatan wacana untuk menjadikan Indonesia negara yang demokratis dengan memegang teguh hak asasi manusia, yang identik dengan peran polisi untuk penegakan hukum, dan militer hanya untuk urusan pertahanan. Tetapi ironisnya, pada saat yang sama ini dianggap sebagai peluang oleh para teroris, karena kemampuan efektif aparat keamanan menjadi tidak berjalan baik.
"LSM dan lembaga-lembaga hukum harus sadar, aksi terorisme juga melanggar hak asasi manusia karena ini merenggut nyawa manusia," kata Juwono.
© Copyright 2024, All Rights Reserved